Jumat, 06 November 2009

Mengapa Kenakalan Remaja Semakin Merajalela?

Masalah kenakalan remaja dewasa ini sudah tidak dapat dianggap sepele. Karena hal tersebut telah semakin dirasakan meresahkan masyarakat, baik di negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang. Dalam kaitannya dengan masalah kenakalan remaja ini, masyarakat Indonesia pun telah mulai merasakan keresahan tersebut, terutama mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Akhir-akhir ini masalah tersebut cenderung menjadi masalah nasional yang dirasa semakin sulit untuk dihindari, ditanggulangi dan diperbaiki kembali. Oleh karena itu, jika tidak segera ditangani secara serius, maka hal tersebut dapat mengakibatkan generasi muda pada masa mendatang akan mengalami masa “kebobrokan moral”.
Keberadaan kenakalan remaja di Indonesia saat ini sudah merambah ke dalam segi-segi kriminal yang secara yuridis formal menyalahi ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau perundang-undangan pidana di luar KUHP, misalnya Undang-Undang Narkotika. Kondisi seperti ini jauh lebih rumit daripada sekedar kondisi destruktif dalam perspektif norma-norma sosial dan susila.
Dalam kehidupan sehari-hari, sudah banyak sekali kejadian perbuatan amoral yang telah dilakukan oleh remaja dan anak-anak. Sudah tak terhitung berapa kali peristiwa memperihatinkan seperti pemerkosaan, perkelahian, pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan yang dilakukan remaja yang mestinya diharapkan mampu menjadi pemimpin bangsa di kemudian hari. Yang lebih memperihatinkan, kenakalan remaja tersebut justru banyak terjadi pada kalangan keluarga berada, yang nota bene kebutuhan hidup secara fisik sudah tercukupi atau mungkin malah lebih. Memang harus diakui, kenakalan remaja saat ini sudah merebak dimana-mana. Meskipun belum mencapai titik kritis yang membahayakan stabilitas negara, namun hal tersebut patut untuk diwaspadai. Karena ada kecenderungan, trend kenakalan remaja sekarang sudah mengarah kepada tindak kekerasan dan brutalisme. Yang menjadi persoalan sekarang adalah mengapa zaman sekarang kenakalan remaja semakin merajalela? Apakah semata-mata karena masa remaja adalah masa “storm and drug” yang penuh dengan berbagai gejolak dan goncangan jiwa? Atau karena faktor-faktor lain yang bersifat ekstrinsik? Tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan beberapa faktor yang sering menyebabkan munculnya kenakalan remaja.
Dewasa ini, seorang anak sering digolongkan sebagai delinkuen (nakal), jika pada anak tersebut nampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang sangat memuncak sehingga perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan gangguan-gangguan terhadap keamanan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat, misalnya pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerasan, penipuan, serta perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan oleh anak remaja yang meresahkan masyarakat.
Perbuatan anak-anak muda yang nyata-nyata bersifat melawan hukum dan anti sosial tersebut pada dasarnya tidak disukai oleh masyarakat, yang disebut juga dengan
problem sosial. Jadi pada dasarnya, problema-problema sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral, karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Problema-problema sosial yang berwujud kenakalan remaja tersebut tentu timbul dan dialami oleh sebagian besar kelompok sosial, dan fenomena tadi akan menjadi pusat perhatian sebagian besar anggota masyarakat untuk mendapatkan jalan yang paling efektif di dalam mengatasi baik secara preventif (pencegahan) maupun represif (penekanan). Kenakalan remaja hanyalah merupakan bagian terkecil dari problema-problema sosial yang dialami oleh masyarakat. Dewasa ini, masyarakat sedang dilanda beberapa problem antara lain:
1. Dengan tingginya kualitas kelahiran, timbul masalah kependudukan.
2. Dengan sebab yang beragam, timbul masalah kemiskinan.
3. Karena merosotnya mental, timbul masalah korupsi.
4. Karena degradasi moral dari individu itu, timbul masalah pelacuran baik terang-terangan maupun terselubung.
Secara garis besarnya, masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan-perbuatan anak remaja itu dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat baik di kota maupun di pelosok desa. Akibatnya sangat memilukan, kehidupan mayarakat menjadi resah, perasaan tidak aman bahkan sebagian anggota-anggotanya menjadi terasa terancam hidupnya. Problema tadi pada hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama di dalam kelompok. Hal ini bukan berarti masyarakat harus membenci anak delinkuen atau mengucilkannya, akan tetapi justru sebaliknya. Masyarakat dituntut secara moral agar mampu mengubah anak-anak delinkuen menjadi anak saleh, paling tidak mereka dapat dikembalikan dalam kondisi ekuilibrium (seimbang). Keresahan dan perasaan terancam tersebut pasti terjadi, sebab kenakalan-kenakalan yang dilakukan remaja pada umumnya berupa ancaman terhadap hak milik orang lain yang berupa benda, seperti pencurian, penipuan, dan penggelapan, berupa ancaman terhadap keselamatan jiwa orang lain, seperti pembunuhan dan penganiayaan yang menimbulkan matinya orang lain, dan perbuatan-perbuatan ringan lainnya, seperti pertengkaran sesama anak, minum-minuman keras, begadang, atau berkeliaran sampai larut malam.
Unsur solidaritas merupakan pengikat utama di dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap individu di dalam masyarakat harus memilikinya, termasuk anak-anak remaja. Pada dasarnya, secara sosiologis, rasa setia kawan perlu dimiliki oleh anak remaja, karena pada prinsipnya rasa setia kawan dapat melatih mereka untuk memiliki tanggung jawab moral terhadap semua perbuatannya di tengah-tengah masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya rasa setia kawan tersebut dapat membimbing mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan memberi dampak positif bagi kemaslahatan dan kepentingan umum.
Hal lain yang tidak kalah penting dan harus ada di dalam setiap diri anak remaja adalah adanya kesadaran beragama. Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan Yang Maha Esa berdimensi vertikal dan horizontal yang mampu memberikan dorongan terhadap jiwa manusia yang berakal agar berpedoman menurut peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat. Maksudnya, jika manusia beragama disertai taat mengamalkan segala ajarannya, kemungkinan besar dia akan taat mengamalkan segala ajarannya dan dia akan hidup secara teratur di dunia ini. Bagi para remaja sangat diperlukan adanya pemahaman, pendalaman serta ketaatan terhadap ajaran-ajaran agama yang dianut. Dalam kenyataan sehari-hari, banyak yang menunjukkan bahwa anak-anak remaja yang melakukan kejahatan sebagian besar kurang memahami norma-norma agama bahkan mungkin lalai menunaikan perintah-perintah agama seperti melaksanakan shalat, puasa, dan lain-lain.
Kenakalan remaja yang sering terjadi di dalam masyarakat pun bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. Kenakalan remaja tersebut timbul karena beberapa faktor. Apakah faktor-faktor itu?
Lingkungan pertama dan utama yang paling berpengaruh terhadap perkembangan anak adalah keluarga. Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali dikenal anak sebelum mengenal lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karenanya, dalam hubungannya dengan perkembangan anak, keluarga sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Mengapa? Menurut John Locke, yang berdiri di sisi aliran Empiris dengan teorinya “Tabola Rasa” menyatakan bahwa anak-anak itu ibarat meja yang berlapis lilin atau kertas yang putih bersih tanpa goresan apapun. Karena keluarga merupakan lingkungan anak yang pertama, maka keluarga pula lah yang akan menggores pertama kali pada meja berlapis lilin atau kertas yang putih bersih tadi. Sehingga dapat kita maklumi bersama jika keluarga akan banyak menentukan kepribadian anak.
Keluarga juga merupakan lingkungan yang utama bagi anak. Sebab di lingkungan keluarga anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya. Menurut perhitungan sementara ahli, anak akan tinggal di lingkungan keluarga tidak kurang dari 60% dari keseluruhan waktu dalam sehari yang 24 jam. Jadi sangat wajar kiranya jika lingkungan keluarga akan menjadi cermin yang baik terhadap sikap, kepribadian, dan tindakan anak di masyarakat. Namun perlu disadari bersama, bahwa akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan zaman, serta pengaruh budaya barat yang liberal yang telah menyebabkan keluarga tidak dapat memerankan fungsinya sebagaimana proporsi yang sebenarnya dengan skala prioritas yang pas. Pada saat-saat sekarang ini, banyak fungsi-fungsi keluarga yang sudah melemah dan sering dilupakan orang. Lihat saja, betapa komunikasi yang hangat antara ayah, ibu, dan anak-anak semakin menghilang. Orang tua sekarang sudah terlalu sibuk memburu uang dan kekayaan, karena beranggapan bahwa dengan harta mereka akan dapat membahagiakan anak. Tetapi mereka lupa bahwa anak bukan hanya memerlukan kebutuhan materi saja, tetapi juga kasih sayang, perhatian, dorongan dan orang tua di sisinya.
Saat ini sudah banyak kasus, bahwa ketidak hadiran orang tua selama waktu yang agak lama telah menjadi penyebab utama pendidikan anak berantakan dan morat-marit. Belum lagi masalah keagamaan dan nilai-nilai moral yang seharusnya dianut anak juga semakin kabur, sehingga sikap “menghalalkan” segala cara untuk memperoleh kesenanngan menjadi kecenderungan yang dipilih. Kehadiran orang tua yang “sesaat” yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk memberi perhatian dan kasih sayang, namun tak urung sering digunakan untuk membentak-bentak dan memarahi anak yang membuatnya frustasi, ketakutan yang amat sangat, perasaan rendah diri, tak berguna, dan sebagainya. Akibatnya anak merasa tidak terlindungi, merasa sendiri dan terasing. Hal inilah yang menjadi penyebab utama anak-anak atau remaja keluar rumah mencari “pelarian” dengan cara begadang di jalanan, mulai akrab dengan minuman keras atau mabuk-mabukan, ganja, morphin, seks, dan kekerasan. Kalau sudah begini, kita bisa merenung apalah artinya harta yang melimpah jika anak-anak berantakan. Anak yang seharusnya dapat membanggakan dan membahagiakan orang tua ternyata dia malah menenggelamkan orang tua ke dalam lembah kehinaan dan penderitaan. Ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus, karena akan menjadi penyakit akut yang mengganas di seluruh lingkungan masyarakat kita. Tidak pandang bulu pada keluarga kita.
Selain keluarga, ajang hidup anak remaja yang lain adalah sekolah. Di sekolah anak remaja menerima pendidikan secara formal, sebagian besar aktifitas di dalamnya lebih ditekankan kepada pembinaan intelektual. Selama proses pendidikan berlangsung terjadi interaksi antara anak remaja sebagai anak didik dengan guru sebagai pendidik. Interaksi tersebut kadang-kadang berjalan lancar dan normal, akan tetapi ada kalanya terjadi ketidaknormalan interaksi. Dalam kenyataan, sering terjadi seorang pendidik bersikap kurang adil terhadap peserta didik dengan alasan hubungan darah, kesamaan ideologi, atau karena kesamaan suku. Sikap pendidik ini akan merugikan dunia pendidikan, bahkan dampak yang lebih jauh peserta didik akan memberi reaksi negatif sebagai awal dari perbuatan delinkuen. Bahkan ada beberapa peserta didik yang sudah tergolong anak delinkuen, misalnya peminum, pengguna narkoba, pezina dan lain sebagainya. Kondisi negatif seperti ini kemungkinan dapat mempengaruhi peserta didik yang lain, yang semula sebagai peserta didik yang baik berubah menjadi delinkuen. Keadaan dan kemungkinan tadi menjadi tanggung jawab para pendidik di sekolah untuk menanggulangi, masyarakat dan orang tua di rumah pun wajib memberi sokongan ke arah kebaikan.
Terlepas dari kondisi keluarga dan tempat pendidikan formal, masyarakat pun kerap kali menjadi ajang tumbuh suburnya kenakalan remaja. Kondisi sosial yang tidak menggembirakan bagi perkembangan dan pertumbuhan mental anak justru mendorong timbulnya kenakalan remaja, misalnya pelacuran, perjudian, peperangan, dan kemiskinan.
Kenakalan remaja sekarang memang telah membuat orang tua pusing tujuh keliling. Sebab mengatasi kenakalan remaja pada saat ini dengan kekerasan sama halnya menjadikan boomerang bagi orang tua itu sendiri. Bukan tidak mungkin kekerasan orang tua akan dibalas anak dengan kekerasan pula. Bahkan lebih keji.
Untuk “menumpas” kenakalan remaja sampai ke akar-akarnya harus dimulai dari keluarga. Keluarga harus menjadi tempat bernaung yang nyaman bagi anak.
Selain itu, keluarga juga harus menjadi tempat yang baik untuk berkreasi dan berprestasi. Orang tua harus dapat memberi ayoman di kala anak susah, tetapi juga dapat memberi batasan yang tegas kala tindakan anak mulai menyimpang dari norma. Oleh karena itu, benar juga apa yang dikatakan Kung Futze, bahwa dalam membenahi kebobrokan remaja harus dimulai dengan menegakkan wibawa keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga mesti tahu terlebih dahulu akan hak dan kewajibannya. Semua kebiasaan buruk harus diluruskan secara tegas tanpa ragu-ragu. Namun dari kesemuanya itu, ada satu hal yang patut menjadi catatan bagi kita bahwa upaya mengatasi kenakalan remaja harus dimulai dari pembenahan fungsi keluarga agar sesuai dengan porsinya. Dan ini harus diawali dari pembenahan diri orang itu sendiri. Sehingga setiap apa yang dikatakan orang tua kepada anaknya memang betul-betul dapat dilihat anak dengan mata kepala sendiri pada perilaku orang tuanya. Orang tua harus mampu menjadi figur yang baik di mata anak-anak. Sebab hanya dengan cara itu anak akan menghargai dan menghormati orang tuanya, yang nota bene akan menjadi potensi besar orang tua untuk diakui keberadaannya secara wajar di mata anak sekaligus sebagai orang tua yang patut dihormati dan dipatuhi perintah-perintahnya. Dan berdasarkan konsep pendidikan nasional, maka usaha pencegahan kenakalan remaja itu tadi sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Dengan demikian, hal tersebut diharapkan dapat mengurangi timbulnya kenakalan remaja, sehingga mudah-mudahan para remaja Indonesia masih dapat diselamatkan generasinya dan mereka
mampu menjadi pemimpin bangsa pada masa mendatang.