Jumat, 08 Oktober 2010

Cerita Masa Lalu Edison

Semasa kecil Thomas Alfa Edison (sang penemu listrik) sangat tidak tampak kecerdasannya, bahkan dia terlihat seperti orang idiot karena ukuran kepalanya lebih besar dari ukuran yang wajar. Orang-orang di sekitarnya mengira dia menderita kelainan syaraf.
Pertanyaan-pertanyaan aneh yang sering dilontarkannya pada orang-orang, menambah prasangka mereka. Bahkan di sekolahnya sendiri, karena banyaknya pertanyaan berbelit yang dilontarkannya, dia mendapat julukan ”Si Dungu”. Oleh karena itu, pada suatu hari, dia pulang dari sekolah sambil menangis dan menceritakan kepada ibunya apa yang telah dialaminya.
Sang Ibu lalu menuntun sang putranya itu kembali ke sekolah dan berkata kepada guru Edison: ”Anda tidak tahu apa yang telah anda ucapkan, anak saya lebih banyak akalnya daripada anda. Disinilah kekeliruan dan aib tindakan anda, saya akan membawa anak saya pulang ke rumah dan saya sendiri yang akan mengajar dan mendidiknya. Suatu saat nanti saya akan menunjukkan kepada anda bahwa dia memang memiliki kecerdasan yang terpendam.” Begitulah prediksi sang ibu yang sangat menakjubkan. Sejak saat itu, sebagaimana telah dijanjikan, ibunya mulai mengajar dan mendidiknya di rumah.
Teras yang berada di depan rumah Edison, menjadi sebuah kelas bagi Edison sendiri, sebagai murid tunggalnya. Semua gerak-gerik anak itu sama seperti ibunya, dia sangat mencintai ibunya. Ketika sang ibu bicara, dia mendengarkannya dengan seksama, seakan akan ibunya itu samudera ilmu pengetahuan.
Karena bantuan ibu yang sangat ”pandai” (dalam pendekatan belajar dan mengajar), dalam usianya yang kesembilan Edison telah mempelajari buku-buku para penulis ternama yang sangat berat, seperti Gibbon, Plato, dan Hammer. Selain itu, sang ibu juga mengajarkan kepadanya ilmu geografi, sejarah, berhitung dan akhlak. Lebih dari tiga tahun Edison tidak ke sekolah, semua dia dapatkan dari sang ibu.
Ibu Edison benar-benar seorang Pembina karena perhatiannya tidak hanya terfokus pada aspek pengajaran dan pendidikannya saja, tetapi juga sisi lain; harus menemukan kecerdasan-kecerdasan alami si anak dan setelah itu barulah mengajarkannya dengan baik dan benar.
Setelah menjadi orang terkenal, Edison berkata: ”Sejak kecil, saya tahu bahwa ibu adalah sosok yang sangat bijak; ketika guru saya memanggil saya anak dungu, beliau membela saya. Sejak saat itu, saya bertekad untuk membuktikan kepada ibu saya bahwa beliau tidak salah membela saya.”
Edison juga berkata: ”Saya tidak akan pernah melupakan pengaruh-pengaruh positif pengajaran dan pendidikan ibu saya. Kalau beliau tidak memotivasi saya, mungkin saya tidak akan menjadi seorang penemu. Ibu berkeyakinan bahwa kebanyakan orang yang menyimpang di usia baligh disebabkan oleh kurangnya pengajaran dan pendidikan yang cukup di masa kecilnya. Dulu saya adalah orang yang selalu ingin hidup bebas, kalau bukan karena perhatian ibu, kemungkinan besar saya sudah menyimpang. Namun keteguhan serta kebaikannya, telah menyelamatkan saya dari penyimpangan dan kesesatan.”
Sang Ibu harus tahu kalau anaknya perlu pendidikan dan perhatian. Siapapun yang dapat mencapai kedudukan apapun adalah berkat perhatian sang ibu. Kebesaran hati dan pengorbanan adalah tujuan sang ibu.
Namun, tak jarang kita juga sering dibuat terpengarah oleh sikap seorang ibu, yang memarahi putra atau putrinya yang tengah berceloteh dengan manis. Lebih menggenaskan lagi, ada orang tua yang memarahi anak-anak mereka dengan mengatakan: ”Bicara pinter, tetapi matematika bodoh.”
Tampaknya orang tua tersebut tidak berbeda dengan kebanyakan orang tua lainnya yang tidak tahu bahwa akanya memiliki aspek Kecerdasan Linguistik yang menonjol. Tetapi mereka justru menganggap matematika sebagai tolok ukur kecerdasan anak-anak. Umumnya para orang tua sangat sedih jika anak-anak mereka tidak mendapat nilai bagus untuk pelajaran matematika. Berbagai upaya dilakukan agar si anak menjadi pintar, termasuk dengan memaksa mereka mengikuti les matematika bahkan dengan menggaji guru privat.
Para orang tua mestinya menyadari bahwa kecerdasan, menurut perkembangan teori terbaru, mempunyai sembilan aspek yang disebut dengan istilah Multiple Intelligences. Kesembilan aspek itu adalah Kecerdasan Linguistik, kecerdasan Logika-Matematika, Kecerdasan Kinestetik, Kecerdasan Spasial (Ruang-Tempat), Kecerdasan Bermusik, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Naturalis, dan Kecerdasan Moral.
Setiap anak memiliki Multiple Intelligences (Kecerdasan Berganda) itu, tetapi pada masing-masing mereka ada aspek-aspek yang paling menonjol. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengenali sejak dini kelebihan dan kekurangan putra-putrinya. Orang tua bertugas memfasilitasi anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik sesuai dengan kelebihan yang dimilikinya.

Hubungan Psikologi dengan Ilmu Lain

1. Hubungan Psikologi dengan Sosiologi
 Ilmu yang berpengaruh pada Psikologi Sosial adalah Sosiologi dan Antropologi (Bonner, 1953).
 Sosiologi : Suatu bidang ilmu yang terkait dengan perilaku hubungan antar individu, atau antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok (interaksionisme) dalam perilaku sosialnya.
 Antropologi : Memfokuskan pada perilaku sosial dalam suprastruktur budaya tertentu.
 Psikologi Sosial : Mempelajari perilaku individu yang bermakna dalam hubungan dengan lingkungan atau rangsang sosialnya.
 Perbedaan Psikologi Sosial dengan Sosiologi adalah fokus studinya.
 Fokus perhatian studi :
a. Psikologi Sosial : Perilaku Individu
b. Sosiologi : Sistem dan struktur sosial yang dapat berubah atau konstan tanpa bergantung pada individu.
 Sosiologi lebih memfokuskan pada masyarakat dan budaya yang melingkupi individu.

2. Hubungan Psikologi dengan Antropologi
 Tiga masalah yang menjadi fokus perhatian antropologi, yaitu :
a. Kepribadian bangsa
b. Peranan individu dalam proses perubahan adat istiadat
c. Nilai universal dalam persoalan kepribadian bangsa sesudah Perang Dunia ke-1, hubungan antar bangsa kian intensif, perhatian penjajah terhadap kepribadian bangsa jajahan.
 Fokus studi antropologi awal tahun 1920-an : Ali antropologi teratarik pada lingkungan dan kebudayaan dari bayi dan anak-anak. Masa itu dianggap penting bagi pembentukan kepribadian dewasa yang khas dalam suatu masyarakat.
 Hampir semua penelitian yang mendalami ”kepribadian bangsa” menyimpulkan bahwa ciri-ciri kepribadian yang tampak berbeda pada bangsa-bangsa di dunia ini bersumber pada cara pengasuhan pada masa kanak-kanak. Misalnya, orang Jepang yang dewasa menjadi bersifat memaksakan kehendaknya, karena ketatnya latihan mengenai cara membuang air pada masa kanak-kanak.
 Perkembangannya, saat ini kesimpulan di atas tidak bisa diandalkan lagi.
 Dalam perkembangannya, fokus pendekatan psikologis pada keanekaragaman kebudayaan, berubah. Minat terhadap hubungan pengasuhan semasa anak-anak dan kepribadian setelah dewasa, tetap dipertahankan, namun beberapa ahli antropologi mulai meneliti faktor-faktor determinan yang mungkin jadi penyebab dari kebiasaan pengasuhan anak yang beragam.
 Kebudayaan tertentu menghasilkan karakteristik psikologi tertentu menimbulkan ciri budaya lainnya.
 Kesimpulan mengenai pendekatan psikologis dalam antropologi budaya: dengan menghubungkan variasi dalam pola budaya dengan masa pengasuhan anak, kepribadian, kebiasaan, dan kepercayaan yang mungkin menjadi konsekuensi dari faktor psikologis dan prosesnya.
 Anthropology in mental health memfokuskan diri pada aspek sosial budaya yang mempengaruhi kondisi/gangguan mental pada diri individu.

3. Hubungan psikologi dengan Ilmu Komunikasi
 Banyak disiplin ilmu yang terlibat dalam studi komunikasi.
 Dalam perkembangannya, ilmu komunikasi melakukan ”perkawinan” dengan berbagai ilmu lain.
 Subdisiplin : komunikasi politik, sosiologi komunikasi massa, psikologi komunikasi.
 Psikologi Komunikasi : Ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi.
4. Hubungan Psikologi dengan Biologi
 Objek Formal :
a. Psikologi : tingkah laku manusia.
b. Biologi : fisik.
 Psikologi sebagai ilmu subjektif.
a. Mempelajari penginderaan dan persepsi manusia, menganggap manusia sebagai subjek (pelaku).
b. Psikologi mempelajari nilai yang berkembang dari persepsi subjek.
c. Psikologi mempelajari perilaku secara ”molar” (perilaku penyesuaian diri secara menyeluruh).
 Biologi sebagai ilmu objektif.
a. Mempelajari manusia sebagai jasad/objek.
b. Mempelajari fakta yang diperoleh dari penelitian terhadap jasad manusia.
c. Mempelajari perilaku manusia secara molekular.
d. Mempelajari molekul-molekul dari perilaku berupa gerakan, refleks, proses ketubuhan, dan sebagainya.

5. Hubungan Psikologi dengan Ilmu Alam
 Pada permulaan abad ke-19, psikologi dalam penelitiannya banyak terpengaruh oleh ilmu alam.
 Psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen.
 Objek penelitian psikologi : manusia dan tingkah lakunya yang selalu hidup dan berkembang.
 Objek penelitian ilmu alam : benda mati.

6. Hubungan Psikologi dengan Filsafat
 Filsafat : hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
 Dalam penyelidikannya, filsafat berangkat dari apa yang dialami manusia.
 Ilmu psikologi menolong filsafat dalam penelitiannya.
 Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan ”pincang” dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil psikologi.

7. Hubungan Psikologi dengan Ilmu Pendidikan
 Ilmu Pendidikan : bertujuan memberikan bimbingan hidup manusia sejak lahir sampai meninggal.
 Pendidikan tidak akan berhasil dengan baik bilamana tidak didasarkan pada psikologi perkembangan.
 Hubungan kedua disiplin ilmu ini melahirkan Psikologi Pendidikan.

8. Hubungan Psikologi dengan Ilmu Politik
 Psikologi merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam bidang politik, “massa psikologi”.
 Penting bagi politisi untuk menyelami gerakan jiwa dari rakyat pada umumnya, golongan tertentu pada khususnya.
 Psikologi sosial dapat menjelaskan bagaimana sikap dan harapan masyarakat dapat melahirkan tindakan serta tingkah laku yang berpegang teguh pada tuntutan masyarakat.

Pengertian Psikologi Menurut Para Ahli

1. Crow & Crow
“Psychology is the study of human behavior and human relationship.”
(Psikologi adalah tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya, baik berupa manusia lain [human relationship] maupun bukan manusia; hewan, iklim, kebudayaan, dan sebagainya).
2. Sartain
“Psychology is the scientific study of the behavior of living organism, with especial attention given to human behavior.”
(Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku organisme yang hidup, terutama tingkah laku manusia).
3. Bruno (1987)
Pengertian Psikologi dibagi dalam 3 bagian, yaitu :
1. Psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai “ruh”.
2. Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai ”kehidupan mental”.
3. Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai ”tingkah laku” organisme.
4. Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology
”Psychology is the science of human and animal behavior, the study of organism in all its variety and complexity as it respond to the flux and flow of the physical and social events which make up the environment.”
(Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan).
5. Ensiklopedia Pendidikan, Poerbakawatja dan Harahap (1981)
Psikologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengadakan penyelidikan atas gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa.
6. Richard Mayer (1981)
Psikologi merupakan analisis mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.
7. Ernest Hilgert (1957)
”Psychology may be defined as the science that studies the behavior of men and other animal, etc.”
(Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan lainnya).
8. Henry Gleitman (dalam Syah, 1995 : 8)
Psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia, alasan, dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan.
9. Edwin G. Boring & Herbert S. Langfeld
Psikologi adalah studi tentang hakikat manusia.
10. George A. Miller (dalam buku ”Psychology and Communication)
“Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral events.”
(Psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku).
11. Clifford T. Morgan (dalam buku “Introduction to Psychology”)
“Psychology is the science of human and animal behavior.”
(Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan).
12. Robert S. Woodworth & Marquis DG (1957)
“Psychology is the study of human behavior and human relationship.”
(Psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas atau tingkah laku individu dalam hubungan dengan alam sekitarnya).
13. Paul Mussen & Mark R. Rosenzwieg
Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mind (pikiran), namun dalam perkembangannya, kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku), sehingga psikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
14. Knight & Knight
”Psychology may be defined as the systematic study of experience and behavior human and animal, normal and abnormal, individual and social.”
15. Ruch
“Psychology is sometimes defined as the study of man, but this definition is too broad. The truth is that psychology is party biological science and partly a social science, overlapping these two major areas and relating them each other.”
16. Wilhelm Wundt
Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti: perasaan panca indera, pikiran, feeling (perasaan), dan kehendak.
17. John Broadus Watson
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku tampak (lahiriah) dengan menggunakan metode observasi yang objektif terhadap rangsang dan jawaban (respons).
18. Plato & Aristoteles
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
19. Dr. Singgih Dirgagunarsa
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia.

Senin, 30 Agustus 2010

Menjaga Pola Hidup yang Sehat Memang Penting

Di zaman yang serba cepat dan modern seperti sekarang ini, di mana mobilitas kita secara tidak sadar juga dituntut lebih cepat, kita sering mengabaikan pola makan yang sehat, sehingga apapun masuk ke dalam perut kita, tanpa terkendali. Yaa, Hal tersebut pernah saya alami. Namun, karena belajar dari pengalaman, saya tidak ingin berbuat ”hal bodoh” seperti itu lagi. Itulah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini. Saya berharap tulisan ini dapat mengingatkan dan mendorong kita untuk terus menjaga pola hidup yang sehat.
Perlu kita ketahui, asal mula sumber segala penyakit mulai dari adanya pencemaran pertanian, pencemaran peternakan hewan, pencemaran makanan (zat pengawet, zat pewarna, pestisida) sampai pencemaran sumber air. Zat-zat berbahaya tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, dan mengumpul jadi racun/toksin, mengendap di usus besar bertahun-tahun.
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa, dari 100.000 usus besar yang diteliti oleh Harvey W, seorang dokter terkemuka di dunia, hanya 6% saja yang benar-benar normal. Pada kenyataannya 90% dari semua penyakit yang kita kenal sekarang ini seperti tifus, usus buntu, dan sebagainya, semua bermula dari usus besar.
Oleh karena itu, sebelum terlambat mulai hari ini kita harus segera mengubah pola makan kita. Berikut ini ada beberapa ’tips’ yang mungkin bisa membantu kita untuk menjaga hidup sehat dan penyembuhan alami:
1. Selaras dengan alam.
2. Sinar matahari dan udara segar yang cukup.
3. Banyak minum air putih.
4. Olahraga untuk kesehatan dan panjang umur.
5. Hindari rokok, minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang.
6. Kontrol emosi dan bertingkah laku yang baik untuk mengurangi stres.
7. Pilihlah makanan alami atau organik yang bebas dari pencemaran.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda: ”Sumber dari pada penyakit adalah perut, perut adalah gudang penyakit. Karenanya kendalikan perutmu dan berpuasa adalah obat.”
Kita (manusia) menderita sakit karena adanya toksin (racun) yang masuk dan terkumpul secara terus menerus melalui pola makan yang tidak sehat. Penyakit-penyakit itu datang tanpa diundang. Jadi, jangan sampai kita menjadi korban selanjutnya!!!

Senin, 23 Agustus 2010

Pentingnya Pendidikan Moral dan Keteladanan dalam Menangani Masalah Kemerosotan Bangsa

Akhir-akhir ini, gejala kemerosotan moral benar-benar telah mengkhawatirkan. Masalah ini bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan dan profesinya, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar yang diharapkan dapat melanjutkan perjuangan bangsa.
Masalah-masalah moral pun telah menjadi persoalan yang banyak menyita perhatian dari banyak kalangan, terutama dari pendidik, alim ulama, tokoh masyarakat, dan orang tua. Meskipun telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah moral, namun hasilnya masih belum menggembirakan.
Kita patut prihatin atas kondisi moralitas bangsa ini. Betapa tidak, moralitas, sebagai hasil dari pendidikan, ternyata tidak bisa disebut membanggakan. Moralitas yang ada justru sangat jauh dari nilai-nilai normatif yang selama ini dijunjung tinggi. Semua itu sungguh sangat disayangkan dan telah mencoreng kredibilitas dunia pendidikan. Para pelajar yang seharusnya menunjukkan akhlak yang baik, justru malah menunjukkan tingkah laku yang buruk.
Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para pelajar yang semakin hari menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tindak kejahatan dengan eskalasi yang tinggi juga sudah dilakukan pelajar; mulai dari siswa SD sampai mahasiswa perguruan tinggi. Sungguh tragis jika itu dilakukan oleh mereka yang duduk di bangku pendidikan. Akan tetapi kenyataannya, banyak di antara para pelaku kriminal itu adalah mereka yang berstatus pelajar, atau masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Di sisi lain, para pelaku pembangunan di bumi Indonesia tercinta, dari kalangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, juga menunjukkan perangai yang jauh dari aspek moralitas. Padahal, lembaga pendidikan selalu berharap banyak agar adanya contoh yang nyata dari pelaku pembangunan. Para pelaku pembangunan tidak dapat dijadikan contoh teladan bagi generasi muda. Kalau di kalangan generasi muda dikenal istilah "kenakalan remaja", hal yang sama juga dilakukan oleh para orang tua, sehingga wajar saja jika dikatakan "kenakalan orang tua". Sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan yang demikian. Tetapi itulah realitas yang ada. Realitas miris, karena seharusnya mereka berpartisipasi untuk membangun iklim subur bagi pembangunan moralitas bangsa.
Lalu, apa yang telah menyebabkan terjadinya kemerosotan moral di kalangan pelajar? Berkaitan dengan masalah ini, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar, terutama remaja. Di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Hal tersebut menjadikan masyarakat dengan hukum dan peraturannya sebagai satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya. Namun, karena pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial ketika tidak ada orang lain yang mengetahui dan melihatnya.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Ketiga, derasnya arus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Gejala penyimpangan terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan, uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya, tampaknya belum menunjukkan kemauan yang sungguh-sungguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa.
Kelima, sistem pendidikan di Indonesia kurang memperhatikan pendidikan moral yang berhubungan dengan aspek afektif anak didik. Sehingga kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Sudah 65 tahun Indonesia merdeka, dan setiap tahunnya keluar ribuan hingga jutaan kaum intelektual. Tapi tak kuasa mengubah nasib bangsa ini. Maka pasti ada yang salah dengan sistem pendidikan yang kita kembangkan hingga saat ini. Selain itu, sistem pendidikan Indonesia juga kurang memperhatikan kebebasan anak didik untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini tidak sejalan dengan substansi pendidikan yang membebaskan manusia, yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Untuk menyikapi masalah kemerosotan moral ini, pendidikan moral memang perlu dikedepankan, karena dengan adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Selain itu, dunia afektif yang ada pada setiap manusia pun harus selalu dibina secara terarah, terencana dan berkelanjutan karena sifatnya yang labil dan kontekstual. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya.
Lantas, di manakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan?
Pendidikan agama dan pendidikan moral sudah mendapatkan tempat yang wajar dan leluasa dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IX pasal 39 butir 2, misalnya, mengatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.
Lalu, apa langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam upaya menangani masalah kemerosotan moral ini? Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini, antara lain sebagai berikut. Pertama, pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama. Karena nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.
Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, matematika, fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama seperti yang selama ini ditentukan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya, dengan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, teladan dan pembiasaan yang baik. Sekolah juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti membiasakan solat berjama’ah, menegakkan disiplin dalam kebersihan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi atau budaya seluruh siswa. Kemudian, sikap dan perilaku guru yang kurang dapat diteladani atau menyimpang hendaknya tidak segan-segan diambil tindakan. Sementara itu, masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan akhlak, seperti membiasakan solat berjama’ah, gotong royong, kerja bakti, memelihara ketertiban dan kebersihan, menjauhi hal-hal yang dapat merusak moral, dan sebagainya.
Kelima, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berkreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya, harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral.
Keenam, pembinaan moral pada anak bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak kecil. Namun, moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Misalnya, seorang anak dibiasakan makan, minum, tidur, berjalan, berbicara, dan berhubungan dengan orang lain, sesuai ketentuan agama. Selanjutnya dibiasakan juga bersikap jujur, adil, konsekuen, ikhlas, pemaaf, sabar, berbaik sangka dan sebagainya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dengan demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
Di samping itu, untuk menyukseskan pembangunan sumber daya manusia, berbagai bentuk sikap keteladanan harus dipraktikkan sedini mungkin. Tentunya, hal ini tidak bisa berharap banyak hanya dari lembaga sekolah. Sekolah bersama seluruh lingkungan, dan masyarakat yang luas harus menunjukkan bentuk sikap keteladanan yang positif.
Jika perilaku sebagian besar orang tua, ataupun dari kalangan pendidikan, masih tetap seperti saat ini, yang jauh dari nilai-nilai normatif dan banyaknya melakukan tindakan kriminal yang dipublikasikan media, maka hal ini akan menjadi pembelajaran yang negatif bagi para pelajar.
Padahal idealnya, anak didik di sekolah menerima bentuk-bentuk contoh perlakuan positif yang dijadikan keteladanan. Bersamaan dengan itu pula, masyarakat luas diharapkan dapat berpartisipasi. Itulah yang sangat diharapkan. Agar benih yang ada di dalam jiwa anak didik dapat tumbuh subur sesuai dengan iklim yang ada di sekitarnya.
Dengan pembiasaan yang berkelanjutan baik di sekolah, di rumah maupun di masyarakat luas, maka sikap positif itu akan tumbuh dan menjadi bagian dari diri sendiri yang akan mengubah jiwa muda tersebut menjadi lebih baik. Pemahaman ini perlu diyakinkan kepada seluruh pihak, bahwa tanggung jawab moralitas anak didik bukan sekedar menjadi tanggung jawab para pendidik ataupun warga sekolah. Masyarakat luas pun ikut bertanggung jawab terhadap perbaikan moralitas generasi muda.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk keteladanan yang positif merupakan solusi yang dapat dipraktikkan untuk memperbaiki kondisi moralitas bangsa. Selain itu, pendidikan pun harus hadir di tengah masyarakat yang akan mengubah sikap yang negatif. Perlu dipahami pula, bahwa pendidikan bukan semata-mata ada di sekolah. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan itu harus dilaksanakan di sekolah, masyarakat, dan di dalam keluarga. Dengan demikian, semuanya bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Semoga dengan pemahaman yang utuh terhadap hakikat pendidikan, maka kualitas bangsa ini akan semakin positif. Semoga.


Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Korupsi Kecil-kecilan

Cheating atau mencontek dalam bahasa Indonesia , bukanlah sebuah isu baru. Mencontek sedikit berbeda dengan meniru. Yang pertama bermakna negatif sementara yang kedua sedikit kearah positif.. Dunia contek-mencontek ’rajin’ hadir dalam setiap persaingan. Bahkan perguruan tinggi di Amerika, sekalipun yang tergabung dalam the Ivy League juga tak luput dari serangan virus ini, hingga masing-masing lembaga tersebut memiliki kode kehormatannya (Code of Honor) sendiri. Seperti misalnya universitas Harvard, yang dikenal sebagai gudangnya pemikir-pemikir handal Amerika, bahkan sebagaian besar presiden Amerika adalah lulusan kampus itu. Harvard menerapkan sistem anti-mencontek yang terbilang radikal. Peraturannya adalah siapapun yang ketahuan mencontek, baik saat ujian tulis ataupun menulis esai, akan mendapatkan nilai A sementara itu semua teman sekelasnya (yang tidak mencontek atau juga mencontek tapi tidak ketahuan) akan mendapat nilai F (failed / gagal). Tujuan penerapan aturan ini adalah menciptakan sistem pertahanan anti-mencontek di kalangan mahasiswa sendiri. Diharapkan mahasiswa akan belajar keras dan sungguh-sungguh sehingga tidak perlu mencontek untuk sekedar mendapat nilai bagus dan jika seandainya pun, masih ada yang mencontek dan ketahuan, maka bukan lembaga yang langsung menghukum namun sesama mahasiswa yang akan menindak rekannya yang berbuat curang itu, entah dalam bentuk apapun. Betapa tidak, gara-gara ada satu mahasiswa yang mencontek maka yang lain mendapat nilai paling jelek F sementara yang mencontek justru mendapat nilai tertinggi A.
Saya akan membahas praktek mencontek dalam dua fokus bahasan. Yang pertama, praktek mencontek dilihat dari sudut pandang moral si pelaku. Yang kedua, melihat praktek mencontek sebagai produk dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Jika kita mengasumsikan bahwa praktek mencontek adalah masalah moral si pelaku maka kita bisa mendasarkan pemikiran kita pada apa yang telah ditulis oleh Albert Bandura (1977). Bandura percaya bahwa proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat langkah, yakni atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi. Pada saat dorongan mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang membuat seseorang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baginya. Informasi ini diseleksi, kemudian diposisikan ke dalam ingatan sebagai suatu informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara imaginary maupun nyata (visual). Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, di mana anak akan memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia mencontek. Selain itu, ada beberapa kondisi yang akan memotivasi seseorang untuk berbuat curang (mencontek), yakni antara lain; sistem pengawasan ujian yang longgar, bentuk soal pilihan ganda, serta posisi tempat duduk yang “strategis”. Jika demikian halnya maka, cara untuk menghentikan praktek ini kira-kira antara lain berupa perubahan kondisi eksternal yang dipandang memotivasi perbuatan curang seperti, sistem penjagaan ujian diperketat, bentuk soal dibuat bervariasi dari sekedar pilihan ganda – esai hingga nomor ganjil genap, kondisi ruangan dibuat sama sehingga tidak ada tempat “kering” dan “strategis” dalam ruang ujian. Tetapi cukupkah yang demikian? Maka marilah kita beranjak ke tahap berikutnya yakni menghubungkan fenomena ini dengan kebijakan pemerintah.
Kutipan yang diambil dari tulisan Kathy Slobogin di awal tadi, dihadirkan untuk memberikan gambaran bahwa persoalan mencontek adalah persoalan sistem. Dengan kata lain, bahwa sistem pendidikan yang sedang berlaku justru memotivasi sekaligus menyuburkan praktek curang mencontek. Di dunia sekolah / pendidikan, setidaknya ada dua variabel yang terkait jika kita berbicara tentang mencontek. Variabel yang pertama adalah siswa/i dan yang kedua adalah guru. Jika filsafat Marxist melalui teori konfliknya percaya bahwa jika ada dua variabel dalam satu isu maka dua hal tersebut selalu akan bertentangan, maka tidak demikian yang terjadi dalam kasus mencontek ini. Baik guru maupun siswa bahu-membahu dalam memperoleh nilai terbaik, namun sayangnya, dengan cara yang penuh dengan kecurangan. Hal ini setidaknya terlihat dalam pelaksanaan UN yang seringkali melibatkan tim sukses. Tentu saja tidak setiap sekolah (SMP) melakukan tindakan tidak terpuji ini, namun bisa dikatakan bahwa disaat kelulusan UN merupakan tujuan utama pengajaran di sekolah maka apapun akan dilakukan para guru demi meluluskan siswa/i mereka. Mari kita cermati berita berikut ini :
”Saya, adalah guru yang masih sangat baru. Selama ini sebagai orang awam, saya hanya tahu tugas guru adalah mendidik muridnya menjadi manusia yang baik dan jujur. Namun mendekati UAN saya sering mendengan istilah tim sukses, baik secara bisik-bisik, maupun terang-terangan. Dan setelah saya tahu, terus terang hati saya tergoncang, jiwa saya malu dan menangis. Bagaimana saya dapat berdiri dikelas dan mengajarkan arti kejujuran kepada murid saya, apabila saya jadi tim sukses.”
Pada tanggal 2 desember 2004 di Senayan, Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Guru, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa perbaikan mutu pendidikan tidak hanya melalui perbaikan kesejahteraan guru (peningkatan gaji melalui program sertifikasi) namun Presiden juga mengingatkan guru untuk mendidik siswa/i agar terbiasa mengerjakan tugas/soal tanpa mencontek. Empat tahun setelah pidato presiden tersebut, alih-alih aksi mencontek itu turun drastis, malah semakin menjadi. Himbauan presiden-pun dianggap angin lalu. Tengoklah fenomena “tim sukses UN”. Jika selama ini banyak kalangan menilai kegiatan mencontek dan bentuk kecurangan lainnya dilihat hanya sebagai bentuk degradasi moral para siswa saja, maka di sisi lain ada pandangan yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan Indonesia perlu untuk dibenahi (lagi).
Istilah tim sukses UN (dahulu UAN), selalu melejit seiring dengan datangnya masa-masa menjelang Ujian Nasional. Pihak sekolah tiba-tiba disibukkan dengan penyusunan strategi untuk menyukseskan gelaran itu. Sayangnya ada saja beberapa sekolah yang menyelewengkan arti “menyukseskan”. Jika sebagian sekolah membentuk tim sukses dengan tugas utamanya yaitu memberikan latihan tambahan, memberikan bimbingan rohani juga bekerja sama dengan lembaga terkait untuk mempersiapkan mental para siswa/i-nya, (yang terakhir ini, seperti yang dilakukan oleh SMA Muhammadiyah 2 Surabaya). Pihak sekolah, secara kreatif, menggandeng lembaga psikologi untuk memberikan bimbingan mental agar tenang dan kuat dalam rangka menghadapi UN (RCTI). Di lain pihak, ada sebagian sekolah yang menambah tugas tim suksesnya dengan meminta mereka membantu siswa/i mengerjakan soal-soal UN. Caranya bisa bermacam-macam, semisal; meminta mereka (tim sukses) untuk hadir lebih awal (di hari ujian), kemudian membuka soal ujian (entah bagaimana caranya) lalu mengerjakannya dan setelah itu mengembalikan soal yang tadi diambil ke dalam amplop serapih mungkin seperti semula.
Ada lagi yang menjalankannya antara lain dengan cara; 1. guru mata pelajaran yang UN kan berbisik-bisik memberi kunci jawaban, 2. pemberian kunci jawaban dari guru kepada siswa dengan tidak kentara misalnya kunci jawaban di tulis di dinding WC sehingga siswa bisa mengakses dengan pura-pura meminta ijin kepada pengawas untuk buang air kecil; 3. tanpa pengawas silang atau pengawasan silang yang dilonggarkan yang memungkinkan siswa bisa bekerjasama, mencontek, 4. pengaturan tempat duduk sedemikian rupa yang memungkinkan jawaban dari siswa pintar bisa diakses dengan mudah oleh siswa yang kurang pintar; 5. Sekolah menggiring siswa agar dalam ujian para peserta dapat saling membantu, 6. Memberi perintah kepada siswa hanya mengerjakan misalnya 20 soal saja sedang selebihnya akan diselesaikan oleh guru-guru yang telah ditunjuk oleh Kepala Sekolah sebagai tim sukses; 7. Penggunaan SMS lewat handphone untuk mendistrbusikan jawaban antar teman. (Kaltim Post, 29-30 Mei 2006).
Sebagaimana yang disampaikan Benny Susetyo, kekacauan pelaksanaan UN ini tak lain adalah tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia (Sinar Harapan,15 Februari 2005). Pelaksanaan UN adalah paradoks atas disahkannya kurikulum 2004, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang intinya adalah penilaian ada pada sektor proses. Dan selain itu, KBK bersifat mengakui nilai kelokalan atau dalam ranah administrasi negara dikenal dengan nama otonomi daerah. Artinya, setiap sekolah diberi keleluasaan untuk menerapkan pendidikan sesuai dengan corak masyarakatnya.Sementara UN, justru menafikan nilai-nilai kelokalan karena berhasrat untuk menyeragamkan kemampuan siswa/i di seluruh Indonesia tanpa memperhitungkan kondisi objektif yang berbeda-beda di tiap daerahnya. Penerapan UN diakui atau tidak justru menyuburkan praktek kecurangan ini. Para guru akan terfokus untuk meluluskan sebanyak mungkin siswanya, karena ini berkaitan dengan nama institusi. Ada pameo yang beredar dikalangan pendidik bahwa semakin tinggi angka kelulusan siswanya dalam UN maka semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Akhirnya demi mengejar gengsi, reputasi, dan pemasukan tambahan maka bagi sekolah-sekolah yang tidak percaya diri, ditempuhlah cara-cara tak terpuji itu. Ironis memang, guru, pihak yang selalu dijadikan tumpuan pada proses pendidikan di sekolah justru menjadi komandan atas praktek kecurangan itu. Di satu sisi, sang guru bermoral buruk dan disisi yang lain sang guru adalah korban sistem. Tetapi apapun itu, harap diingat bahwa masa depan republik ini ada di tangan para siswa bukan di tangan para guru. Dan akan selalu berada di tangan para siswa pada setiap generasinya. Artinya, jika kita mengajarkan hal-hal buruk kepada para siswa maka selepas mereka dari sekolah dan terjun bekerja dalam masyarakat, mereka akan terus membawa pengertian bahwa setiap kesulitan yang ada, bisa diselesaikan melalui “jalan belakang” sebagaimana yang dahulu diajarkan oleh bapak dan ibu gurunya. Maka bagi siapa saja yang peduli terhadap pendidikan dan masa depan republik ini, pilihan ada ditangan anda masing-masing. Terlebih bagi mereka yang bekerja untuk mencetak calon guru.

Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

LUPA

Lupa merupakan istilah yang sangat populer di masyarakat. Dari hari ke hari dan bahkan setiap waktu pasti ada orang-orang tertentu yang lupa akan sesuatu. Entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau atau sesuatu yang akan dilakukan, mungkin juga sesuatu yang baru saja dilakukan.
Lupa adalah fenomena psikologis, suatu proses yang terjadi di dalam kehidupan mental. Fenomena lupa dapat terjadi pada siapapun juga. Tak peduli apakah orang itu anak-anak, remaja, orang tua, guru, pejabat, profesor, petani dan sebagainya.
Di sisi lain, manusia tidak bisa memusatkan seluruh energinya kepada semua hal. Ada hal-hal yang pasti terlepas dari perhatian. Wilhelm Wundt, mengatakan bahwa hanya sebagian kecil dari persepsi umum (black felt) yang bisa masuk titik perhatian (blick punkt). Ia juga berpendapat bahwa mental itu aktif dan aktivitas mental itulah yang mengarahkan pusat-pusat perhatian manusia. Hal-hal yang menjadi pusat perhatian akan mudah dilupakan. Sementara itu, manusia juga punya kecenderungan untuk merekonstruksi hal-hal yang dilupakan.
Metabolisme otak tidak memungkinkan semua jejak ingatan itu tersimpan terus dengan sempurna, melainkan berangsur-angsur akan menghilang. Tetapi ketika orang yang bersangkutan diminta untuk mengingat kembali hal-hal yang sudah mulai terlupakan sebagian itu, manusia cenderung untuk menyempurnakan sendiri bagian-bagian yang terlupa tersebut dengan cara mengkreasikan sendiri detil-detil cerita itu. Akibatnya, sebuah cerita tentang suatu peristiwa yang pernah disaksikan oleh seseorang akan berubah-ubah dari masa ke masa. Makin lama jarak waktu antara kejadian awal dengan saat bercerita, maka makin banyak perubahannya.
Di sekolah, para guru memandang lupa sebagai gejala yang menyedihkan, yang seharusnya tidak ada, namun mau tidak mau harus dihadapi. Mungkin saja ada guru yang frustasi, karena anak didik yang sering lupa akan bahan pelajaran yang sudah diajarkan. Anak didik sebenarnya sangat tidak ingin kelupaan itu datang menderanya. Lupa dipandang sebagai ”musuh besar” yang harus disingkirkan sejauh mungkin. Lupa merupakan peristiwa yang memilukan dan menyeret anak didik ke jurang kemalangan nasib. Resah dan gelisah mendera jiwanya dalam kebingungan. Dalam belajar, lupa kerapkali dialami dalam bidang belajar kognitif, di mana anak didik harus banyak ”belajar verbal”, yaitu belajar yang menggunakan bahasa. Penjelasan guru secara verbal cenderung mudah terlupakan, kecuali bila dalam menjelaskan sesuatu hal itu lebih mendekati kenyataan. Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk menekan sekecil mungkin lupa setelah melakukan aktivitas belajar.
Lantas, mengapa kita lupa? Padahal kita memiliki kemampuan menyimpan informasi luar biasa melalui ”komputer otak”. Jutaan informasi telah direkam dan diserap oleh komputer otak. Akan tetapi, mengapa kita tetap saja bisa lupa? Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang lupa terhadap sesuatu yang pernah dialami, di antaranya adalah karena tidak pernah melatih atau mengingat lagi informasi sehingga menjadi lupa, karena adanya gangguan dari informasi baru yang masuk ke dalam ingatan terhadap informasi yang telah tersimpan di situ, seolah-olah informasi yang lama digeser dan kemudian lebih sukar diingat, karena disebabkan oleh represi atau tekanan dari luar, dan sebagainya.
Di samping itu, perlu diketahui juga bahwa hilangnya informasi dari ingatan jangka pendek disebabkan oleh dua hal, yaitu karena gangguan dan waktu. Mengingat hal-hal yang baru dapat mengganggu mengingat hal-hal yang lama. Pada waktu tertentu, kemampuan ingatan jangka pendek yang terbatas itu penuh dengan informasi-infromasi baru, sehingga hilanglah ingatan jangka pendek karena lamanya waktu. Semakin lama informasi di dalam ingatan jangka pendek semakin melemah keadaannya dan akhirnya hilang lenyap tak berbekas.
Informasi yang hilang dari ingatan jangka pendek itu benar-benar lenyap. Tetapi informasi yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang tidak pernah hilang dan selalu dapat diingat kembali asalkan kondisinya tepat. Freud pernah mengatakan bahwa kadang-kadang secara sengaja kita melupakan atau menekan informasi atau pengetahuan tertentu yang tidak diinginkan untuk diingat-ingat. Tetapi hal ini tidak dapat menjelaskan mengapa pengalaman-pengalaman yang tidak (kurang) menyenangkan teringat dan terbayang-bayang secara jelas. Sedangkan pengalaman-pengalaman lain yang menyenangkan atau yang netral justru dilupakan.
Meskipun lupa itu manusiawi, akan tetapi kaum terpelajar tidak mau bersahabat dengannya. Sebab, sangat tidak menguntungkan dengan sedikit nilai kebaikannya. Siapa pun tidak akan mampu membendung kehadiran lupa secara keseluruhan. menghilangnya juga suatu hal yang mustahil. Mengurangi proses terjadinya lupa adalah suatu upaya yang masuk akal dan dapat dipercaya kebenarannya.
Pada prinsipnya, lupa dapat dicegah sekecil mungkin bila materi pelajaran yang guru sajikan kepada anak didik dapat ”diserap”, ”diproses”, dan ”disimpan” dengan baik oleh sistem memori anak didik. Lalu, kiat apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi peristiwa lupa itu?
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan ”daya ingat akal anak didik”. Hal itu di antaranya: dengan menambah alokasi waktu belajar atau menambah frekuensi aktivitas belajar (extra study time), selalu melatih ingatan dengan menggali kembali informasi-informasi lama dari ingatan, dan dengan mengaplikasikan informasi yang kita dapatkan ke dalam kehidupan sehari-hari pun diakui dapat mengurangi lupa.
Selain itu, minat dan motivasi juga dapat mengurangi terjadinya lupa. Contohnya saja, dalam pengalaman sehari-hari, kita sering mengamati remaja yang tidak lupa suatu lirik lagu walaupun dalam bahasa asing. Kemudian, orang-orang yang sering bepergian pun mempunyai ingatan tentang ilmu bumi yang jauh lebih baik dibandingkan orang yang tidak pernah kemana-mana. Artinya, di sini seseorang yang mengingat segala sesuatu tentang hal-hal yang disukainya jauh lebih baik dari pada hal-hal yang tidak disukainya. Dengan demikian, jelaslah minat sangat meningkatkan motivasi dan pada gilirannya akan meningkatkan daya ingat. Menurut Kurt Lewin, seorang psikolog Jerman, minat dan motivasi berarti konsentrasi energi (forces) pada sektor (region) tertentu dalam kesadaran. Konsentrasi energi inilah yang menyebabkan suatu hal tidak begitu saja dilupakan.
Usaha-usaha untuk mengurangi lupa tersebut dapat dilakukan oleh anak didik dan guru. Hal itu didasarkan pada suatu keyakinan bahwa usaha-usaha mengurangi lupa tidak semata-mata terpulang pada cara-cara belajar yang baik di pihak anak didik saja, tetapi juga berhubungan dengan cara mengajar yang baik di pihak guru. Oleh karena itu, tulisan ini semoga dapat membantu kita untuk dapat meminimalisir terjadinya lupa.

Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Selasa, 17 Agustus 2010

Masalah Kesulitan Belajar

Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, guru dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Prestasi belajar yang memuaskan pun dapat diraih oleh setiap anak didik jika mereka dapat belajar secara wajar, terhindar dari berbagai ancaman, hambatan, dan gangguan. Namun, sayangnya ancaman, hambatan, dan gangguan dialami oleh anak didik tertentu. Sehingga, mereka mengalami kesulitan dalam belajar. Pada tingkat tertentu, memang ada anak didik yang dapat mengatasi kesulitan belajarnya, tanpa harus melibatkan orang lain. Akan tetapi pada kasus-kasus tertentu, karena anak didik belum mampu mengatasi kesulitan belajarnya, maka bantuan guru atau orang lain sangat diperlukan oleh anak didik.
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud masalah kesulitan belajar? Faktor apa yang menyebabkannya? Serta langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk membantu anak yang mengalami masalah kesulitan belajar?
Aktifitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Demikian kenyataan yang sering dijumpai pada setiap anak didik dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan aktifitas belajar. Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan individu inilah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku di kalangan anak didik. Ketika anak didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena faktor intelligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi dapat juga disebabkan karena faktor lain di luar intelligensi. Oleh karena itu, IQ tinggi yang dimiliki seseorang belum tentu menjamin keberhasilan belajarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka memberikan cap kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal.
Di setiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki anak didik yang berkesulitan belajar. Masalah yang satu ini tidak hanya dirasakan oleh sekolah modern di perkotaan, akan tetapi juga dirasakan oleh sekolah tradisional di pedesaan dengan segala keminiman dan kesederhanaannya. Hanya yang membedakannya pada sifat, jenis dan faktor penyebabnya.
Masalah kesulitan belajar ini disebabkan oleh beberapa faktor. Ada faktor intern (faktor dari dalam diri anak itu sendiri ) yang meliputi faktor fisiologi dan faktor psikologis, dan ada faktor ekstern (faktor dari luar anak) yang meliputi faktor-faktor sosial, seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di rumah, dan faktor-faktor nonsosial, seperti faktor guru di sekolah, kemudian alat-alat pembelajaran, kondisi tempat belajar, serta kurikulum.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum, ada pula faktor-faktor khusus yang juga menimbulkan kesulitan belajar anak didik. Misalnya, sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar), seperti disleksia (dyslexia), yaitu ketidakmampuan belajar membaca, disgrafia (dysgraphia), yaitu kemampuan belajar menulis, dan sebagainya.
Dalam rangka mengatasi masalah kesulitan belajar ini, kita harus mencari sumber-sumber penyebab utama dan sumber-sumber penyebab penyerta lainnya secara akurat, afektif dan efisien, agar dapat memberikan treatment yang berhasil. Jika gagal, treatment harus diulang. Kegagalan treatment yang kedua harus diulangi dengan treatment berikutnya. Begitulah seterusnya sampai benar-benar dapat mengeluarkan anak didik dari kesulitan belajar.
Yang terpenting adalah kita harus dapat menelaah dengan baik perkembangan anak didik. Diagnosis terhadap permasalahan sesungguhnya yang dialami anak mutlak harus dilakukan. Dengan demikian kita akan mengetahui kesulitan belajar apa yang dialami anak, sehingga kita dapat menentukan alternatif pilihan bantuan bagaimana mengatasi kesulitan tersebut.

Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Jumat, 04 Juni 2010

Rahasia di balik Masalah

Betapa banyak orang yang memiliki fisik yang sempurna, tetapi cacat mentalnya. Namun, tidak sedikit juga di antara manusia yang cacat fisiknya, namun sempurna mentalnya, hanya karena dia memahami benar bahwa semua manusia dianugerahkan kelebihan dan kekurangan oleh Allah SWT.
Semuanya adalah anugerah dan kesempatan. Beruntunglah mereka yang menyadarinya, dan merugilah mereka yang kerjanya hanya mengeluh, mengeluh dan mengeluh atas kekurangan-kekurangannya tanpa mau meng-up gradenya. Betapa banyak orang yang mampu berdiri tegak dan kokoh di atas pijakan kakinya, tetapi mereka hanya bertopang dagu dan tidak mampu memimpin dirinya sendiri. Mereka lebih sibuk dengan masalah-masalah dunianya, daripada sibuk dengan masalah-masalah akhirat. Karena mereka menganggap bahwa masalah (problem) merupakan halangan, rintangan dan rantai diri yang membelenggunya.
Efeknya adalah kita hanya menjadi manusia biasa tanpa mampu memberikan manfaat apapun kepada orang-orang yang ada di sekitar kita, meskipun semua orang akan berbeda cara dalam berbagi manfaat kepada banyak orang. Jika sampah saja bermanfaat bagi banyak orang karena dapat dijadikan pupuk, demikian juga kotoran yang juga dapat dijadikan pupuk, maka aneh jika manusia yang diciptakan dengan sempurna oleh Allah SWT dibandingkan makhluk lainnya, malah tidak memberikan manfaat apapun. Lalu akan dijadikan dan disamakan seperti apa mereka-mereka itu?
Dalam kehidupan ini, kita akan selalu bertemu dengan bermacam-macam persoalan (masalah), mulai dari terbit matahari sampai matahari terbenam kembali, mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar dan seterusnya. Masalah tersebut datang dan muncul tanpa diundang. Ini membuktikan bahwa masalah tidak dapat kita hindari dan tidak akan mampu kita jauhi. Karena semakin semangat kita menghindar dari suatu masalah, hal itu justru akan membuat kita mendapatkan masalah yang baru.
Yang perlu kita lakukan adalah mendekati masalah, agar kita mengetahui penyebabnya. Yang pada gilirannya kita dapat menyikapi masalah-masalah tersebut. Sebab, berat atau ringannya suatu masalah bukan terletak dari masalah itu sendiri, namun bagaimana sikap dan cara kita menghadapi masalah.
Masalah adalah suatu proses untuk meningkatkan kualitas diri ke arah yang lebih baik. Betapa tidak menariknya hidup ini jika kehidupan hanya dipenuhi dengan hal-hal yang menyenangkan, dan tidak diiringi dengan masalah yang tidak menyenangkan.
Hidup adalah sebuah proses untuk berubah ke arah yang lebih baik. Selama menjalani proses, banyak pilihan-pilihan yang kita hadapi. Ada kalanya pilihan kita justru menjadi masalah.
Masalah adalah karunia Allah agar kita mendapat dua pertolongan. Sebuah masalah diapit oleh dua kemudahan. Jika kita baru menemukan satu kemudahan, maka kemudahan-kemudahan yang lain akan menyusul. Tidak satu masalah pun dari masalah-masalah yang kita hadapi yang tidak disediakan jalan keluarnya. Semua masalah pasti memiliki jalan keluarnya. Kita harus selalu yakin dengan janji Allah, sehingga kita akan merasa ringan dalam menjalani kehidupan meskipun penuh dengan masalah. Berat atau ringannya suatu masalah yang kita rasakan, semua itu tergantung dari sudut pandang kita sendiri sebagai manusia. Karena sudut pandang kita itu sangat menentukan cara kita dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Senin, 24 Mei 2010

Sesuatu yang Berbentuk Kecil, Belum Tentu Bernilai Kecil

Terkadang kita begitu bersemangat untuk melakukan ibadah-ibadah yang dahsyat. Ingin menghatamkan al-Quran tiap minggu, ingin shalat sunat sebanyak mungkin, ingin berjihad membela umat, dan sebagainya. Hal ini tidaklah salah, sayangnya seringkali kita melupakan hal-hal yang kecil, seperti membersihkan rumah agar selalu bersih, menghabiskan makanan di piring pada saat makan agar tidak mubadzir, mengemil makanan sambil duduk, membaca bismillah terlebih dahulu ketika akan melakukan setiap pekerjaan yang baik dan sebagainya. Padahal kita tidak tahu, dalam kondisi apa Allah menurunkan rahmat kepada kita. Bukankah kisah seorang pelacur masuk surga disebabkan keistiqomahannya memberi minum terhadap seekor anjing sudah banyak diceritakan? Lakukanlah ibadah-ibadah yang besar, namun jangan melupakan ibadah-ibadah kecil, karena besar dan kecilnya suatu ibadah adalah hak Allah untuk mengecilkan dan membesarkannya.

Sudut Pandang Terhadap Kejadian

Sesuatu itu dapat dianggap sebagai musibah atau berkah, keuntungan atau kerugian, kegagalan atau keberhasilan. Bukan dari bentuk kejadian atau peristiwanya, melainkan dari sudut pandang kita terhadap kejadian tersebut. Oleh karena itu bisa jadi, musibah dianggap berkah, kerugian dianggap keuntungan, kegagalan dianggap keberhasilan, dan sebaliknya. Namun, yang pasti, semua yang terjadi pasti ada hikmahnya, karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi di dunia ini tanpa makna dan sia-sia.

Sabtu, 06 Maret 2010

AIRMATA RASULULLAH SAW

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.

Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai ding! in, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Kita tidak usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangi mu di dunia, tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihimu diakhirat.