Senin, 14 Desember 2009

Kurangnya Kesadaran Masyarakat akan Keindahan Makna Tahun Baru Hijriyah dan Menjadikannya sebagai Momentum Kebangkitan Nasional

Pada bulan Desember tahun 2009, terdapat banyak peringatan hari-hari besar dan penting seperti Hari AIDS Sedunia, Hari Anti Korupsi Sedunia, Tahun Baru Hijriyah 1431, Hari Ibu, Hari Natal dan Tahun Baru Masehi 2010.
Apa makna dari sebuah peringatan? Tentunya hal itu tergantung dari sudut pandang mana kita mengapresiasi dan mengekspresikannya. Inti dari sebuah peringatan adalah Lesson Learned. Pengambilan sebuah pelajaran. Pengambilan hikmah di balik sebuah kisah. Dan hikmah yang menurut saya pantas untuk diambil adalah “menuju kehidupan yang lebih baik”. Kehidupan yang lebih baik adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti, dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi. Sebagai sebuah proses yang tidak pernah berhenti, kehidupan yang lebih baik terwujud dalam sebuah ide sekaligus aktifitas fisik kapanpun dan dimanapun manusia berada.
Tinggal beberapa hari lagi, tahun 1430 H akan berakhir dan datanglah Tahun Baru 1431 H. Kemudian akan disusul dengan Tahun Baru Masehi 2010 yang biasanya perayaan Tahun Baru Masehi tersebut penuh dengan keramaian, pesta di mana-mana, kembang api menanggapi tenggelamnya tahun 2009 dan datangnya Tahun Baru 2010 dan kini umat islam akan menyambut Tahun Baru 1431 H yang bertepatan dengan tanggal 18 Desember 2009.
Ketika kita diminta untuk menyebutkan nama-nama bulan dalam tahun Hijriyah dengan tepat dan berurutan, belum tentu kita bisa melakukannya dengan benar. Mungkin hanya segelintir orang saja yang dapat menghafalnya di luar kepala. Berbeda jika kita diminta untuk menyebutkan nama-nama bulan dalam tahun Masehi, tentu takkan ada kendala berarti apabila kita menghafalnya. Anak-anak kecil pun akan begitu lancar menyebutkannya.
Kalau mau jujur, tahun Hijriyah atau penanggalan islam tidak begitu populer di kalangan masyarakat dibandingkan dengan penanggalan Masehi. Apalagi di tengah anak-anak muda atau ABG zaman sekarang. Meskipun mayoritas penduduk negeri ini adalah kaum muslim paling banyak yang sering dikenal hanya bulan Ramadhan, Syawal, Muharam dan Dzulhijjah. Sisanya, mungkin mereka berdalih lupa atau bahkan menggeleng-geleng kepala karena tidak tahu.
Di satu sisi, para orang tua atau kakek nenek kita yang akrab dengan penggunaan sistem penanggalan Hijriyah jumlahnya pun terus berkurang, karena dibatasi oleh usia. Di saat mereka sudah pergi, mungkin sebagian besar tidak sempat mewariskan kedekatan dengan tradisi islam itu kepada anak cucunya. Di sisi lain, semakin terkucilnya kalender Hijriyah dari kehidupan sehari-hari masyarakat, mungkin bisa dimaklumi. Wajar saja, karena sistem penanggalan yang dipakai selama ini adalah penanggalan Masehi. Seluruh aktivitas kehidupan, perdagangan, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya, semuanya berpatokan pada penanggalan Masehi.
Namun, meninggalkan tradisi luhur yang dibangun berabad-abad lalu merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Karena di dalam tahun Hijriyah tersimpan sejarah besar perjuangan membangun peradaban manusia. Sejarah itu telah menjadi ruh dan spirit bagi perjalanan kaum muslim sedunia sampai hari ini. Kesanalah seharusnya kita bercermin.
Hijrah Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah menandai suatu ekspansi religius dalam rangka dakwah islamiyyah dan penyampaian risalah kenabian atau dakwah islamiyyah. Berbicara mengenai Nabi Muhammad SAW tidak akan pernah bisa dilepaskan dari dua kota suci tersebut. Apa hasil yang dicapai melalui peristiwa Hijrah telah banyak ditorehkan dalam tinta-tinta sejarah sejarawan Muslim bahkan sejarawan Barat.
Peristiwa hijrah telah banyak memberi inspirasi bagi komunitas muslim untuk menjadikannya sebagai momentum untu membumikan spirit dan atau semangat perlunya perubahan demi perubahan. Ya, karena hijrah yang secara leksikal berarti perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kondisi ke kondisi yang lain yang juga bisa diartikan perubahan demi perubahan.
Menyadari hakikat Tahun Baru Hijriyah, umat islam sebagai umat terbaik dan sepatutnya menjadi suri tauladan yang baik kepada orang lain haruslah mempunyai cara dan sikap yang menjunjung tinggi ajaran wahyu dalam menyambut datangnya Tahun Baru Hijriyah, agar dapat membedakan dengan cara dan adat orang lain. Sebagai umat islam, umat Nabi Muhammad SAW, sepatutnya kita menyambut pergantian tahun yang ditentukan oleh Allah sebagai tahun yang dipakai dalam penentuan waktu dalam menjalankan syari’at islam. Cara memperingati tahun baru seperti yang Rasulullah SAW sabdakan: “Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzulhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharam, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah SWT menjadikan kiffarat atau tertutup dosanya selama 50 tahun.
Peringatan Tahun Baru 1431 Hijriyah kali ini jatuh berdekatan dengan Hari Natal 2009 dan Tahun Baru Masehi 2010. Kedekatan peringatan ini merupakan momentum yang baik untuk dijadikan sebagai ajang refleksi dan intropeksi diri, keluarga, masyarakat bangsa dan negara yang bisa kita jadikan sebagai momentum kebangkitan nasional.
Peringatan yang berdekatan ini memungkinkan kita, baik yang muslim, umat kristiani maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan untuk merayakannya dalam semangat kebersamaan dan persatuan menuju kehidupan yang lebih baik. Parameter kehidupan lebih baik seperti apa? Seperti yang dicita-citakan oleh masing-masing individu manusia. Agama punya parameter, bangsa juga punya parameter. Kita juga mesti memilikinya. Kehidupan yang lebih baik harus diupayakan di tengah krisis global, krisis multi dimensi dan krisis moral atau akhlak bangsa.
Tahun baru 1431 H merupakan bagian dari perjalanan monumental manusia paling agung yang bernama Muhammad SAW, pelaku penting sejarah tersebut. Angka 1431, mulai dihitung dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah. Sebuah keputusan yang kemudian mengubah seluruh atmosfer jazirah Arab juga belahan dunia lainnya. Penetapan penanggalan Hijriyah itu dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, setelah meminta pertimbangan dari imam Ali bin Abi Thalib. Tepatnya, mulai diberlakukan pada tahun 638 M atau 17 H. Menurut perhitungan tersebut, 1 Muharam tahun 1 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M.
Peringatan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam, memang tidak seramai perayaan Tahun Baru Masehi setiap tanggal 31 Desember. Tidak ada tiupan terompet, pesta kembang api, pagelaran konser musik di mana-mana sampai ke pelosok desa, iring-iringan kendaraan dan lautan manusia yang menyesaki tempat-tempat keramaian. Peringatan Tahun Baru Hijriyah, memang lazimnya lebih menengok ke dalam, menjenguk rohani. Kalaupun ada perayaan, lebih menitikberatkan kepada imbauan untuk meneladani jejak Rasul dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Kedatangan tahun baru islam agak sepi akibat begitu lama umat islam terjajah dan terlalu membesar-besarkan penggunaan kalender Masehi dibandingkan tahun Hijriyah dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini menyebabkan umat islam sendiri tidak ingat bulan-bulan dalam islam kecuali Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Inilah antara lain usaha besar kaum kuffar merusak serta menjauhkan umat islam dari ruh islam, termasuk memastikan umat islam tidak menghayati tahun Hijriyah dalam kehidupan. Agak jarang umat islam mengucapkan selamat tahun baru, umat islam sudah terjajah oleh budaya kuffar. Mungkinkah umat islam mampu memperkasai kembali penggunaan tahun baru Hijriyah? Jawabannya ada pada tindakan dan kesungguhan umat islam dalam merealisasikannya. Jika dalam pemakaian tahun pun susah kita berhijrah maka mungkinkah kita mampu hijrah dari sistem jahiliyah kepada sistem islam?
Setiap memasuki Tahun Baru Hijriyah seperti ini, sudah sepantasnyalah kita meningkatkan kesadaran baru dalam diri kita. Kesadaran bahwa usia kita semakin berkurang, sementara persiapan untuk menyongsong kehidupan abadi di penghujung usia, boleh dikatakan masih jauh dari cukup. Teruslah mengintropeksi untuk memperbaiki diri, meningkatkan dan memperbanyak amalan ibadah juga kesadaran untuk terus memelihara semangat hidup dan selalu bercita-cita menjadi manusia yang berguna bagi sesama dan lingkungan.
Memang sudah semestinya setiap diri memaknai setiap pergantian tahun dengan sebuah perenungan, melihat sejenak ke belakang, hal-hal apa yang kurang dan mesti diperbaiki, termasuk memancang tekad untuk segera berhijrah dari segala sifat-sifat buruk menuju kepada sifat-sifat terpuji, yang bukan hanya sekedar harapan, namun segera diusahakan dan diwujudkan dalam ikhtiar nyata dengan senantiasa memohon bimbingan dan pertolongan dari Allah SWT.
Oleh karenanya, makna hijrah harus terinternalisasi dalam diri kita dan diolah menjadi sikap yang luhur dan dinamis dalam menata masa depan yang lebih baik. Melihat kenyataan ini, Indonesia tampaknya harus menjalani hukum sejarah dari sebuah peradaban. Tentunya bangsa ini tidak memaknai “hijrah” dengan perpindahan fisik layaknya “hijrah”nya Nabi meninggalkan Mekkah. Yang bisa dilakukan oleh bangsa ini adalah hijrah maknawi. Artinya, bangsa Indonesia butuh semangat “hijrah” dari kemerosotan ekonomi, sosial, politik dan hukum menuju peradaban yang mencerahkan dan menuju kebangkitan nasional. Peradaban yang lebih menjamin kesejahteraan masyarakat, keterbukaan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tahun baru Hijriyah sudah semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali eksistensi bangsa Indonesia di titik paling nadir. Untuk itulah, Hijriyah yang diperingati oleh umat islam dan juga bangsa Indonesia kali ini diharapkan menjadi refleksi panjang bangsa ini untuk merajut perubahan yang sebenarnya, yang substantif, produktif dan populistik. Semangat hijrah akan menjadi modal untuk mengembalikan kegairahan inisiatif perubahan tersebut. Oleh karenanya, sangat rugi dan sia-sia apabila Hijriyah yang akan kita peringati bersama hanya sebatas pada refleksi seremonial. Pada momen ini bangsa Indonesia berkesepakatan untuk menguak makna dan semangat Hijrah bagi keberadaban dirinya sendiri. Hijrah juga berarti berubah untuk membangun peradaban baru, seperti Nabi Muhammad SAW meninggalkan Makkah dan membentuk komunitas baru yang berperadaban di Madinah. Semoga bangsa Indonesia mampu “hijrah” dari penderitaan yang membelitnya dan bangkit secara nasional menuju bangsa yang berperadaban.