Senin, 23 Agustus 2010

Pentingnya Pendidikan Moral dan Keteladanan dalam Menangani Masalah Kemerosotan Bangsa

Akhir-akhir ini, gejala kemerosotan moral benar-benar telah mengkhawatirkan. Masalah ini bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan dan profesinya, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar yang diharapkan dapat melanjutkan perjuangan bangsa.
Masalah-masalah moral pun telah menjadi persoalan yang banyak menyita perhatian dari banyak kalangan, terutama dari pendidik, alim ulama, tokoh masyarakat, dan orang tua. Meskipun telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah moral, namun hasilnya masih belum menggembirakan.
Kita patut prihatin atas kondisi moralitas bangsa ini. Betapa tidak, moralitas, sebagai hasil dari pendidikan, ternyata tidak bisa disebut membanggakan. Moralitas yang ada justru sangat jauh dari nilai-nilai normatif yang selama ini dijunjung tinggi. Semua itu sungguh sangat disayangkan dan telah mencoreng kredibilitas dunia pendidikan. Para pelajar yang seharusnya menunjukkan akhlak yang baik, justru malah menunjukkan tingkah laku yang buruk.
Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para pelajar yang semakin hari menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tindak kejahatan dengan eskalasi yang tinggi juga sudah dilakukan pelajar; mulai dari siswa SD sampai mahasiswa perguruan tinggi. Sungguh tragis jika itu dilakukan oleh mereka yang duduk di bangku pendidikan. Akan tetapi kenyataannya, banyak di antara para pelaku kriminal itu adalah mereka yang berstatus pelajar, atau masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Di sisi lain, para pelaku pembangunan di bumi Indonesia tercinta, dari kalangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, juga menunjukkan perangai yang jauh dari aspek moralitas. Padahal, lembaga pendidikan selalu berharap banyak agar adanya contoh yang nyata dari pelaku pembangunan. Para pelaku pembangunan tidak dapat dijadikan contoh teladan bagi generasi muda. Kalau di kalangan generasi muda dikenal istilah "kenakalan remaja", hal yang sama juga dilakukan oleh para orang tua, sehingga wajar saja jika dikatakan "kenakalan orang tua". Sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan yang demikian. Tetapi itulah realitas yang ada. Realitas miris, karena seharusnya mereka berpartisipasi untuk membangun iklim subur bagi pembangunan moralitas bangsa.
Lalu, apa yang telah menyebabkan terjadinya kemerosotan moral di kalangan pelajar? Berkaitan dengan masalah ini, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar, terutama remaja. Di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Hal tersebut menjadikan masyarakat dengan hukum dan peraturannya sebagai satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya. Namun, karena pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial ketika tidak ada orang lain yang mengetahui dan melihatnya.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Ketiga, derasnya arus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Gejala penyimpangan terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan, uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya, tampaknya belum menunjukkan kemauan yang sungguh-sungguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa.
Kelima, sistem pendidikan di Indonesia kurang memperhatikan pendidikan moral yang berhubungan dengan aspek afektif anak didik. Sehingga kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Sudah 65 tahun Indonesia merdeka, dan setiap tahunnya keluar ribuan hingga jutaan kaum intelektual. Tapi tak kuasa mengubah nasib bangsa ini. Maka pasti ada yang salah dengan sistem pendidikan yang kita kembangkan hingga saat ini. Selain itu, sistem pendidikan Indonesia juga kurang memperhatikan kebebasan anak didik untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini tidak sejalan dengan substansi pendidikan yang membebaskan manusia, yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Untuk menyikapi masalah kemerosotan moral ini, pendidikan moral memang perlu dikedepankan, karena dengan adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Selain itu, dunia afektif yang ada pada setiap manusia pun harus selalu dibina secara terarah, terencana dan berkelanjutan karena sifatnya yang labil dan kontekstual. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya.
Lantas, di manakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan?
Pendidikan agama dan pendidikan moral sudah mendapatkan tempat yang wajar dan leluasa dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IX pasal 39 butir 2, misalnya, mengatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.
Lalu, apa langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam upaya menangani masalah kemerosotan moral ini? Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini, antara lain sebagai berikut. Pertama, pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama. Karena nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.
Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, matematika, fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama seperti yang selama ini ditentukan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya, dengan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, teladan dan pembiasaan yang baik. Sekolah juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti membiasakan solat berjama’ah, menegakkan disiplin dalam kebersihan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi atau budaya seluruh siswa. Kemudian, sikap dan perilaku guru yang kurang dapat diteladani atau menyimpang hendaknya tidak segan-segan diambil tindakan. Sementara itu, masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan akhlak, seperti membiasakan solat berjama’ah, gotong royong, kerja bakti, memelihara ketertiban dan kebersihan, menjauhi hal-hal yang dapat merusak moral, dan sebagainya.
Kelima, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berkreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya, harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral.
Keenam, pembinaan moral pada anak bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak kecil. Namun, moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Misalnya, seorang anak dibiasakan makan, minum, tidur, berjalan, berbicara, dan berhubungan dengan orang lain, sesuai ketentuan agama. Selanjutnya dibiasakan juga bersikap jujur, adil, konsekuen, ikhlas, pemaaf, sabar, berbaik sangka dan sebagainya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dengan demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
Di samping itu, untuk menyukseskan pembangunan sumber daya manusia, berbagai bentuk sikap keteladanan harus dipraktikkan sedini mungkin. Tentunya, hal ini tidak bisa berharap banyak hanya dari lembaga sekolah. Sekolah bersama seluruh lingkungan, dan masyarakat yang luas harus menunjukkan bentuk sikap keteladanan yang positif.
Jika perilaku sebagian besar orang tua, ataupun dari kalangan pendidikan, masih tetap seperti saat ini, yang jauh dari nilai-nilai normatif dan banyaknya melakukan tindakan kriminal yang dipublikasikan media, maka hal ini akan menjadi pembelajaran yang negatif bagi para pelajar.
Padahal idealnya, anak didik di sekolah menerima bentuk-bentuk contoh perlakuan positif yang dijadikan keteladanan. Bersamaan dengan itu pula, masyarakat luas diharapkan dapat berpartisipasi. Itulah yang sangat diharapkan. Agar benih yang ada di dalam jiwa anak didik dapat tumbuh subur sesuai dengan iklim yang ada di sekitarnya.
Dengan pembiasaan yang berkelanjutan baik di sekolah, di rumah maupun di masyarakat luas, maka sikap positif itu akan tumbuh dan menjadi bagian dari diri sendiri yang akan mengubah jiwa muda tersebut menjadi lebih baik. Pemahaman ini perlu diyakinkan kepada seluruh pihak, bahwa tanggung jawab moralitas anak didik bukan sekedar menjadi tanggung jawab para pendidik ataupun warga sekolah. Masyarakat luas pun ikut bertanggung jawab terhadap perbaikan moralitas generasi muda.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk keteladanan yang positif merupakan solusi yang dapat dipraktikkan untuk memperbaiki kondisi moralitas bangsa. Selain itu, pendidikan pun harus hadir di tengah masyarakat yang akan mengubah sikap yang negatif. Perlu dipahami pula, bahwa pendidikan bukan semata-mata ada di sekolah. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan itu harus dilaksanakan di sekolah, masyarakat, dan di dalam keluarga. Dengan demikian, semuanya bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Semoga dengan pemahaman yang utuh terhadap hakikat pendidikan, maka kualitas bangsa ini akan semakin positif. Semoga.


Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Korupsi Kecil-kecilan

Cheating atau mencontek dalam bahasa Indonesia , bukanlah sebuah isu baru. Mencontek sedikit berbeda dengan meniru. Yang pertama bermakna negatif sementara yang kedua sedikit kearah positif.. Dunia contek-mencontek ’rajin’ hadir dalam setiap persaingan. Bahkan perguruan tinggi di Amerika, sekalipun yang tergabung dalam the Ivy League juga tak luput dari serangan virus ini, hingga masing-masing lembaga tersebut memiliki kode kehormatannya (Code of Honor) sendiri. Seperti misalnya universitas Harvard, yang dikenal sebagai gudangnya pemikir-pemikir handal Amerika, bahkan sebagaian besar presiden Amerika adalah lulusan kampus itu. Harvard menerapkan sistem anti-mencontek yang terbilang radikal. Peraturannya adalah siapapun yang ketahuan mencontek, baik saat ujian tulis ataupun menulis esai, akan mendapatkan nilai A sementara itu semua teman sekelasnya (yang tidak mencontek atau juga mencontek tapi tidak ketahuan) akan mendapat nilai F (failed / gagal). Tujuan penerapan aturan ini adalah menciptakan sistem pertahanan anti-mencontek di kalangan mahasiswa sendiri. Diharapkan mahasiswa akan belajar keras dan sungguh-sungguh sehingga tidak perlu mencontek untuk sekedar mendapat nilai bagus dan jika seandainya pun, masih ada yang mencontek dan ketahuan, maka bukan lembaga yang langsung menghukum namun sesama mahasiswa yang akan menindak rekannya yang berbuat curang itu, entah dalam bentuk apapun. Betapa tidak, gara-gara ada satu mahasiswa yang mencontek maka yang lain mendapat nilai paling jelek F sementara yang mencontek justru mendapat nilai tertinggi A.
Saya akan membahas praktek mencontek dalam dua fokus bahasan. Yang pertama, praktek mencontek dilihat dari sudut pandang moral si pelaku. Yang kedua, melihat praktek mencontek sebagai produk dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Jika kita mengasumsikan bahwa praktek mencontek adalah masalah moral si pelaku maka kita bisa mendasarkan pemikiran kita pada apa yang telah ditulis oleh Albert Bandura (1977). Bandura percaya bahwa proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat langkah, yakni atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi. Pada saat dorongan mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang membuat seseorang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baginya. Informasi ini diseleksi, kemudian diposisikan ke dalam ingatan sebagai suatu informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara imaginary maupun nyata (visual). Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, di mana anak akan memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia mencontek. Selain itu, ada beberapa kondisi yang akan memotivasi seseorang untuk berbuat curang (mencontek), yakni antara lain; sistem pengawasan ujian yang longgar, bentuk soal pilihan ganda, serta posisi tempat duduk yang “strategis”. Jika demikian halnya maka, cara untuk menghentikan praktek ini kira-kira antara lain berupa perubahan kondisi eksternal yang dipandang memotivasi perbuatan curang seperti, sistem penjagaan ujian diperketat, bentuk soal dibuat bervariasi dari sekedar pilihan ganda – esai hingga nomor ganjil genap, kondisi ruangan dibuat sama sehingga tidak ada tempat “kering” dan “strategis” dalam ruang ujian. Tetapi cukupkah yang demikian? Maka marilah kita beranjak ke tahap berikutnya yakni menghubungkan fenomena ini dengan kebijakan pemerintah.
Kutipan yang diambil dari tulisan Kathy Slobogin di awal tadi, dihadirkan untuk memberikan gambaran bahwa persoalan mencontek adalah persoalan sistem. Dengan kata lain, bahwa sistem pendidikan yang sedang berlaku justru memotivasi sekaligus menyuburkan praktek curang mencontek. Di dunia sekolah / pendidikan, setidaknya ada dua variabel yang terkait jika kita berbicara tentang mencontek. Variabel yang pertama adalah siswa/i dan yang kedua adalah guru. Jika filsafat Marxist melalui teori konfliknya percaya bahwa jika ada dua variabel dalam satu isu maka dua hal tersebut selalu akan bertentangan, maka tidak demikian yang terjadi dalam kasus mencontek ini. Baik guru maupun siswa bahu-membahu dalam memperoleh nilai terbaik, namun sayangnya, dengan cara yang penuh dengan kecurangan. Hal ini setidaknya terlihat dalam pelaksanaan UN yang seringkali melibatkan tim sukses. Tentu saja tidak setiap sekolah (SMP) melakukan tindakan tidak terpuji ini, namun bisa dikatakan bahwa disaat kelulusan UN merupakan tujuan utama pengajaran di sekolah maka apapun akan dilakukan para guru demi meluluskan siswa/i mereka. Mari kita cermati berita berikut ini :
”Saya, adalah guru yang masih sangat baru. Selama ini sebagai orang awam, saya hanya tahu tugas guru adalah mendidik muridnya menjadi manusia yang baik dan jujur. Namun mendekati UAN saya sering mendengan istilah tim sukses, baik secara bisik-bisik, maupun terang-terangan. Dan setelah saya tahu, terus terang hati saya tergoncang, jiwa saya malu dan menangis. Bagaimana saya dapat berdiri dikelas dan mengajarkan arti kejujuran kepada murid saya, apabila saya jadi tim sukses.”
Pada tanggal 2 desember 2004 di Senayan, Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Guru, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa perbaikan mutu pendidikan tidak hanya melalui perbaikan kesejahteraan guru (peningkatan gaji melalui program sertifikasi) namun Presiden juga mengingatkan guru untuk mendidik siswa/i agar terbiasa mengerjakan tugas/soal tanpa mencontek. Empat tahun setelah pidato presiden tersebut, alih-alih aksi mencontek itu turun drastis, malah semakin menjadi. Himbauan presiden-pun dianggap angin lalu. Tengoklah fenomena “tim sukses UN”. Jika selama ini banyak kalangan menilai kegiatan mencontek dan bentuk kecurangan lainnya dilihat hanya sebagai bentuk degradasi moral para siswa saja, maka di sisi lain ada pandangan yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan Indonesia perlu untuk dibenahi (lagi).
Istilah tim sukses UN (dahulu UAN), selalu melejit seiring dengan datangnya masa-masa menjelang Ujian Nasional. Pihak sekolah tiba-tiba disibukkan dengan penyusunan strategi untuk menyukseskan gelaran itu. Sayangnya ada saja beberapa sekolah yang menyelewengkan arti “menyukseskan”. Jika sebagian sekolah membentuk tim sukses dengan tugas utamanya yaitu memberikan latihan tambahan, memberikan bimbingan rohani juga bekerja sama dengan lembaga terkait untuk mempersiapkan mental para siswa/i-nya, (yang terakhir ini, seperti yang dilakukan oleh SMA Muhammadiyah 2 Surabaya). Pihak sekolah, secara kreatif, menggandeng lembaga psikologi untuk memberikan bimbingan mental agar tenang dan kuat dalam rangka menghadapi UN (RCTI). Di lain pihak, ada sebagian sekolah yang menambah tugas tim suksesnya dengan meminta mereka membantu siswa/i mengerjakan soal-soal UN. Caranya bisa bermacam-macam, semisal; meminta mereka (tim sukses) untuk hadir lebih awal (di hari ujian), kemudian membuka soal ujian (entah bagaimana caranya) lalu mengerjakannya dan setelah itu mengembalikan soal yang tadi diambil ke dalam amplop serapih mungkin seperti semula.
Ada lagi yang menjalankannya antara lain dengan cara; 1. guru mata pelajaran yang UN kan berbisik-bisik memberi kunci jawaban, 2. pemberian kunci jawaban dari guru kepada siswa dengan tidak kentara misalnya kunci jawaban di tulis di dinding WC sehingga siswa bisa mengakses dengan pura-pura meminta ijin kepada pengawas untuk buang air kecil; 3. tanpa pengawas silang atau pengawasan silang yang dilonggarkan yang memungkinkan siswa bisa bekerjasama, mencontek, 4. pengaturan tempat duduk sedemikian rupa yang memungkinkan jawaban dari siswa pintar bisa diakses dengan mudah oleh siswa yang kurang pintar; 5. Sekolah menggiring siswa agar dalam ujian para peserta dapat saling membantu, 6. Memberi perintah kepada siswa hanya mengerjakan misalnya 20 soal saja sedang selebihnya akan diselesaikan oleh guru-guru yang telah ditunjuk oleh Kepala Sekolah sebagai tim sukses; 7. Penggunaan SMS lewat handphone untuk mendistrbusikan jawaban antar teman. (Kaltim Post, 29-30 Mei 2006).
Sebagaimana yang disampaikan Benny Susetyo, kekacauan pelaksanaan UN ini tak lain adalah tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia (Sinar Harapan,15 Februari 2005). Pelaksanaan UN adalah paradoks atas disahkannya kurikulum 2004, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang intinya adalah penilaian ada pada sektor proses. Dan selain itu, KBK bersifat mengakui nilai kelokalan atau dalam ranah administrasi negara dikenal dengan nama otonomi daerah. Artinya, setiap sekolah diberi keleluasaan untuk menerapkan pendidikan sesuai dengan corak masyarakatnya.Sementara UN, justru menafikan nilai-nilai kelokalan karena berhasrat untuk menyeragamkan kemampuan siswa/i di seluruh Indonesia tanpa memperhitungkan kondisi objektif yang berbeda-beda di tiap daerahnya. Penerapan UN diakui atau tidak justru menyuburkan praktek kecurangan ini. Para guru akan terfokus untuk meluluskan sebanyak mungkin siswanya, karena ini berkaitan dengan nama institusi. Ada pameo yang beredar dikalangan pendidik bahwa semakin tinggi angka kelulusan siswanya dalam UN maka semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Akhirnya demi mengejar gengsi, reputasi, dan pemasukan tambahan maka bagi sekolah-sekolah yang tidak percaya diri, ditempuhlah cara-cara tak terpuji itu. Ironis memang, guru, pihak yang selalu dijadikan tumpuan pada proses pendidikan di sekolah justru menjadi komandan atas praktek kecurangan itu. Di satu sisi, sang guru bermoral buruk dan disisi yang lain sang guru adalah korban sistem. Tetapi apapun itu, harap diingat bahwa masa depan republik ini ada di tangan para siswa bukan di tangan para guru. Dan akan selalu berada di tangan para siswa pada setiap generasinya. Artinya, jika kita mengajarkan hal-hal buruk kepada para siswa maka selepas mereka dari sekolah dan terjun bekerja dalam masyarakat, mereka akan terus membawa pengertian bahwa setiap kesulitan yang ada, bisa diselesaikan melalui “jalan belakang” sebagaimana yang dahulu diajarkan oleh bapak dan ibu gurunya. Maka bagi siapa saja yang peduli terhadap pendidikan dan masa depan republik ini, pilihan ada ditangan anda masing-masing. Terlebih bagi mereka yang bekerja untuk mencetak calon guru.

Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

LUPA

Lupa merupakan istilah yang sangat populer di masyarakat. Dari hari ke hari dan bahkan setiap waktu pasti ada orang-orang tertentu yang lupa akan sesuatu. Entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau atau sesuatu yang akan dilakukan, mungkin juga sesuatu yang baru saja dilakukan.
Lupa adalah fenomena psikologis, suatu proses yang terjadi di dalam kehidupan mental. Fenomena lupa dapat terjadi pada siapapun juga. Tak peduli apakah orang itu anak-anak, remaja, orang tua, guru, pejabat, profesor, petani dan sebagainya.
Di sisi lain, manusia tidak bisa memusatkan seluruh energinya kepada semua hal. Ada hal-hal yang pasti terlepas dari perhatian. Wilhelm Wundt, mengatakan bahwa hanya sebagian kecil dari persepsi umum (black felt) yang bisa masuk titik perhatian (blick punkt). Ia juga berpendapat bahwa mental itu aktif dan aktivitas mental itulah yang mengarahkan pusat-pusat perhatian manusia. Hal-hal yang menjadi pusat perhatian akan mudah dilupakan. Sementara itu, manusia juga punya kecenderungan untuk merekonstruksi hal-hal yang dilupakan.
Metabolisme otak tidak memungkinkan semua jejak ingatan itu tersimpan terus dengan sempurna, melainkan berangsur-angsur akan menghilang. Tetapi ketika orang yang bersangkutan diminta untuk mengingat kembali hal-hal yang sudah mulai terlupakan sebagian itu, manusia cenderung untuk menyempurnakan sendiri bagian-bagian yang terlupa tersebut dengan cara mengkreasikan sendiri detil-detil cerita itu. Akibatnya, sebuah cerita tentang suatu peristiwa yang pernah disaksikan oleh seseorang akan berubah-ubah dari masa ke masa. Makin lama jarak waktu antara kejadian awal dengan saat bercerita, maka makin banyak perubahannya.
Di sekolah, para guru memandang lupa sebagai gejala yang menyedihkan, yang seharusnya tidak ada, namun mau tidak mau harus dihadapi. Mungkin saja ada guru yang frustasi, karena anak didik yang sering lupa akan bahan pelajaran yang sudah diajarkan. Anak didik sebenarnya sangat tidak ingin kelupaan itu datang menderanya. Lupa dipandang sebagai ”musuh besar” yang harus disingkirkan sejauh mungkin. Lupa merupakan peristiwa yang memilukan dan menyeret anak didik ke jurang kemalangan nasib. Resah dan gelisah mendera jiwanya dalam kebingungan. Dalam belajar, lupa kerapkali dialami dalam bidang belajar kognitif, di mana anak didik harus banyak ”belajar verbal”, yaitu belajar yang menggunakan bahasa. Penjelasan guru secara verbal cenderung mudah terlupakan, kecuali bila dalam menjelaskan sesuatu hal itu lebih mendekati kenyataan. Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk menekan sekecil mungkin lupa setelah melakukan aktivitas belajar.
Lantas, mengapa kita lupa? Padahal kita memiliki kemampuan menyimpan informasi luar biasa melalui ”komputer otak”. Jutaan informasi telah direkam dan diserap oleh komputer otak. Akan tetapi, mengapa kita tetap saja bisa lupa? Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang lupa terhadap sesuatu yang pernah dialami, di antaranya adalah karena tidak pernah melatih atau mengingat lagi informasi sehingga menjadi lupa, karena adanya gangguan dari informasi baru yang masuk ke dalam ingatan terhadap informasi yang telah tersimpan di situ, seolah-olah informasi yang lama digeser dan kemudian lebih sukar diingat, karena disebabkan oleh represi atau tekanan dari luar, dan sebagainya.
Di samping itu, perlu diketahui juga bahwa hilangnya informasi dari ingatan jangka pendek disebabkan oleh dua hal, yaitu karena gangguan dan waktu. Mengingat hal-hal yang baru dapat mengganggu mengingat hal-hal yang lama. Pada waktu tertentu, kemampuan ingatan jangka pendek yang terbatas itu penuh dengan informasi-infromasi baru, sehingga hilanglah ingatan jangka pendek karena lamanya waktu. Semakin lama informasi di dalam ingatan jangka pendek semakin melemah keadaannya dan akhirnya hilang lenyap tak berbekas.
Informasi yang hilang dari ingatan jangka pendek itu benar-benar lenyap. Tetapi informasi yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang tidak pernah hilang dan selalu dapat diingat kembali asalkan kondisinya tepat. Freud pernah mengatakan bahwa kadang-kadang secara sengaja kita melupakan atau menekan informasi atau pengetahuan tertentu yang tidak diinginkan untuk diingat-ingat. Tetapi hal ini tidak dapat menjelaskan mengapa pengalaman-pengalaman yang tidak (kurang) menyenangkan teringat dan terbayang-bayang secara jelas. Sedangkan pengalaman-pengalaman lain yang menyenangkan atau yang netral justru dilupakan.
Meskipun lupa itu manusiawi, akan tetapi kaum terpelajar tidak mau bersahabat dengannya. Sebab, sangat tidak menguntungkan dengan sedikit nilai kebaikannya. Siapa pun tidak akan mampu membendung kehadiran lupa secara keseluruhan. menghilangnya juga suatu hal yang mustahil. Mengurangi proses terjadinya lupa adalah suatu upaya yang masuk akal dan dapat dipercaya kebenarannya.
Pada prinsipnya, lupa dapat dicegah sekecil mungkin bila materi pelajaran yang guru sajikan kepada anak didik dapat ”diserap”, ”diproses”, dan ”disimpan” dengan baik oleh sistem memori anak didik. Lalu, kiat apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi peristiwa lupa itu?
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan ”daya ingat akal anak didik”. Hal itu di antaranya: dengan menambah alokasi waktu belajar atau menambah frekuensi aktivitas belajar (extra study time), selalu melatih ingatan dengan menggali kembali informasi-informasi lama dari ingatan, dan dengan mengaplikasikan informasi yang kita dapatkan ke dalam kehidupan sehari-hari pun diakui dapat mengurangi lupa.
Selain itu, minat dan motivasi juga dapat mengurangi terjadinya lupa. Contohnya saja, dalam pengalaman sehari-hari, kita sering mengamati remaja yang tidak lupa suatu lirik lagu walaupun dalam bahasa asing. Kemudian, orang-orang yang sering bepergian pun mempunyai ingatan tentang ilmu bumi yang jauh lebih baik dibandingkan orang yang tidak pernah kemana-mana. Artinya, di sini seseorang yang mengingat segala sesuatu tentang hal-hal yang disukainya jauh lebih baik dari pada hal-hal yang tidak disukainya. Dengan demikian, jelaslah minat sangat meningkatkan motivasi dan pada gilirannya akan meningkatkan daya ingat. Menurut Kurt Lewin, seorang psikolog Jerman, minat dan motivasi berarti konsentrasi energi (forces) pada sektor (region) tertentu dalam kesadaran. Konsentrasi energi inilah yang menyebabkan suatu hal tidak begitu saja dilupakan.
Usaha-usaha untuk mengurangi lupa tersebut dapat dilakukan oleh anak didik dan guru. Hal itu didasarkan pada suatu keyakinan bahwa usaha-usaha mengurangi lupa tidak semata-mata terpulang pada cara-cara belajar yang baik di pihak anak didik saja, tetapi juga berhubungan dengan cara mengajar yang baik di pihak guru. Oleh karena itu, tulisan ini semoga dapat membantu kita untuk dapat meminimalisir terjadinya lupa.

Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya