Seseorang yang sakit jiwa atau biasa disebut dengan Psychopath, kejiwaannya terganggu, dan selanjutnya dia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara wajar dan normal, serta tidak sanggup untuk memahami masalahnya sendiri. Akan tetapi, orang yang sakit jiwa seringkali tidak merasa bahwa dirinya sakit, sebaliknya dia malah menganggap bahwa dirinya normal-normal saja, bahkan dia merasa bahwa dirinya itu lebih baik dan lebih unggul dari orang lain. Penyebab sakit jiwa itu ada dua macam. Pertama: sakit jiwa yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh. Misalnya pada saraf pusat, otak, atau adanya kerusakan pada kelenjar tubuh. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh racun akibat minum-minuman keras, memakai obat-obatan terlarang seperti narkotik atau obat-obat adiktif lain, dan sebagainya. Kedua: sakit jiwa yang disebabkan karena mengalami gangguan-gangguan jiwa yang berlarut-larut sehingga mencapai puncaknya tanpa adanya suatu penyelesaian atau karena hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh akibat tekanan batin, adanya tekanan dari suasana lingkungannya, dan sebagainya.
Di zaman yang serba modern seperti sekarang ini, banyak orang yang tidak bisa berfikir jernih lagi, yang pada akhirnya malah menjadi penyakit kejiwaan. Apalagi sekarang kita sedang dihadapkan pada krisis Ekonomi Global. Ironinya, di zaman yang dikatakan “over-competition” ini lebih banyak orang yang tidak mampu mengenal dirinya sendiri. Berbagai hal yang menarik perhatian dan menjadi kepentingan, semua itu diburu dan dikejar oleh banyak orang. Mereka begitu terlena dengan dunia yang kasat mata, sehingga mereka pun sangat jarang berfikir tentang nilai-nilai yang terdapat dalam diri mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah pada saat Pemilu kemarin. Pada saat pemilu, para calon legislatif berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati dan perhatian rakyat Indonesia. Mereka berani mempertaruhkan sebesar apapun uang yang dikeluarkan untuk proses kampanye. Bahkan ada diantaranya yang berani untuk berhutang sampai jutaan rupiah hanya untuk membiayai kampanyenya. Akan tetapi, pada saat hasil Pemilu itu diumumkan, ternyata banyak caleg yang tidak terpilih. Hal tersebut menyebabkan para caleg yang kalah menjadi depresi. Mereka merasa sangat malu dan kecewa kepada para pendukungnya. Para caleg yang kalah banyak yang mengalami tekanan mental, sehingga banyak diantara mereka yang masuk dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Bahkan tanpa disangka-sangka banyak juga di antara mereka yang sampai melakukan bunuh diri. Itulah sebagian kecil faktor yang menyebabkan orang menjadi sakit jiwa. Mereka lebih sibuk untuk berkompetisi dalam urusan duniawi, sehingga mereka melupakan kebutuhan jiwanya dan seringkali melupakan urusan akhiratnya. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa ada hal paling mendasar yang dapat menyebabkan orang menjadi sakit jiwa. Apakah itu??
Sesungguhnya tubuh kita sebagai manusia diisi oleh dua hal yang berbeda, yaitu ego (nafsu) dan jiwa (akhlak). Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Sosok Jiwa inilah yang sebenarnya menjadi pemilik tubuh kita yang sesungguhnya. Seperti misalnya ada sebuah rumah yang ada pemiliknya,namun ada yang ingin mengontrak rumah itu. Siapakah yang paling mengerti kebutuhan rumah tersebut? Pemilik rumah sesungguhnya atau pengontrak? Tentu cenderung pemilik rumahlah yang lebih mengerti kebutuhan rumah tersebut. Begitu pula dengan jiwa kita, sebagai pemilik asli dari tubuh kita, maka tentu jiwa kita lah yang paling mengerti kebutuhan hidup kita.
Sama halnya dengan tubuh kita yang memerlukan fisik dan nutrisi untuk tumbuh, begitu pun dengan jiwa kita. Namun jiwa membutuhkan nutrisi yang berbeda dengan tubuh. Dalam hal ini, nutrisi yang dibutuhkan bukan berupa kebutuhan makanan atau minuman, namun kebutuhan berupa jiwa yang bahagia. Jiwa yang bahagia inilah yang menjadi kebutuhan hidup kita yang sesungguhnya. Di dalam “teori piramida 7 kebutuhan jiwa yang bahagia Abraham Maslow”, di sana dijelaskan bahwa kebutuhan jiwa yang paling dasar atau paling pertama adalah kebutuhan untuk didengar. Sekarang, mengapa seseorang merasa tidak bahagia? Mengapa juga seseorang merasa sedih? Hal itu terjadi pada saat seseorang tidak didengar atau dengan kata lain dikucilkan. Contohnya saja, anak kecil misalnya. Mereka paling senang jika oleh orang tuanya atau oleh gurunya didengar. Mereka senang bila mereka diajak berbicara. Di sekolah pun misalnya, anak-anak gembira saling belajar di bawah bimbingan gurunya yang secara demokratis memberi kesempatan setiap anak siswa untuk mengemukakan pendapatnya. Pada saat itu, guru hanya berperan sebagai Moderator. Sekarang, apa yang terjadi jika Guru bersikap terlalu Otoriter? Anak-anak siswa akan cenderung depresif dan merasa tidak Bahagia.
Apa jadinya bila seseorang tidak didengar pendapatnya? Coba kita perhatikan, apa efek dan dampaknya jika seorang anak dari kecil kurang diperhatikan, kurang kasih sayang, dan kurang diajak berbicara. Hanya diberi makan, minum dan sekolah saja. Namun di dalam keluarga kurang dilibatkan, atau malah cenderung terkucilkan. Apa jadinya? Coba kita lihat, di seluruh dunia, semua orang berlomba-lomba membeli Handphone. Untuk apa? Supaya mereka bisa saling berbicara dengan orang lain. Supaya mereka didengar. Sekarang, coba tanyakan ke diri kita masing-masing, Apa jadinya jika handphone kita terlupa atau hilang? Beberapa orang di antara kita pasti menjadi merasa sedih. Benar bukan? Kita merasa hidup menjadi hampa, seolah-olah kosong. Karena kita tidak bisa didengar. Kebutuhan untuk didengar adalah kebutuhan paling dasar.
Timbullah pertanyaan di dalam diri kita. Jadi, apa yang sebenarnya sering menyebabkan banyak orang menjadi sakit jiwa? Apakah karena putus cinta?Apakah karena kemiskinan? Apakah karena tekanan hidup? Berdasarkan beberapa survey, dinyatakan bahwa semua itu: tekanan hidup, kemiskinan, putus cinta bukanlah yang paling banyak menyebabkan sakit jiwa. Seseorang memang akan memiliki tekanan hidup yang tinggi kalau miskin. Namun penyebab seseorang sakit jiwa adalah bila kebutuhan dasarnya itu tidak dipenuhi, yaitu kebutuhan untuk didengar. Diajak bicara, didengar pendapatnya, didengar keluhannya, dimengerti. Bila tidak, maka dia akan mulai hidup dalam dunianya sendiri, dunia halusinasi, dunia imajinasi, dunia yang dia alami sendiri, dan tidak ada orang lain di dalamnya. Dia cenderung untuk menjauhi orang lain, dan dia hidup di dalam alam pikirannya sendiri.
Seseorang bisa saja memiliki tekanan hidup yang tinggi, memiliki hutang, atau dimarahi orang tuanya. Reaksinya paling ada dua: Mengabaikan tekanan itu, atau melawannya. Banyak kejadian seorang anak yang terlalu sering dimarahi orang tuanya kabur melarikan diri, namun tidak sampai Sakit Jiwa. Seseorang bisa sampai sakit jiwa jika kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi, yaitu kebutuhan untuk didengar. Kebutuhan ini sama dengan Kebutuhan Sembako, sembilan bahan pokok. Orang tidak hanya butuh beras, air minum, bumbu masak, garam, gula, namun yang lebih penting adalah kebutuhan untuk didengar. Salah satu buktinya, di zaman sekarang ini, rakyat Indonesia lebih peduli untuk membeli pulsa daripada membeli nasi. Benar bukan? Contoh yang lainnya, seseorang yang dipenjara misalnya, bukannya tidak diberi makan atau minum, atau dipukuli setiap hari oleh sipir penjara. Mereka malah tetap terjamin diberi makan, minum namun mereka dikucilkan dari masyarakat. Tidak boleh berhubungan dengan masyarakat dunia luar. Artinya tidak boleh berkomunikasi dengan dunia luar, atau tidak didengar. Oleh karena itu, maka mereka menjadi sedih dan merasa hidupnya tidak lagi berharga. Mereka hanya butuh satu hal, bahwa hidupnya masih berharga. Mereka berhak untuk hidup. Artinya hidup sesungguhnya di masyarakat, tidak dikucilkan. Dengan demikian mereka ingin didengar. Sekarang, di Indonesia pun, banyak orang yang berpendapat bahwa yang paling penting sebagai seorang pemimpin adalah mendengarkan suara wong cilik. Itulah yang paling penting. Bukan kepintaran, keberanian, kejantanan, kepandaian, kekayaan, ketampanan, dan seorang profesor atau doktor yang penting. Yang penting adalah kemampuan mendengar suara wong cilik. Karena itu yang paling penting adalah kebutuhan untuk didengar.
Selain yang di atas, masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan orang menjadi sakit jiwa. Yang jelas, apapun faktor yang telah menyebabkan seseorang itu sakit jiwa dan seberat apapun kelainan mentalnya bahkan sampai kronis sekalipun, apabila dia diobati dan ditangani oleh seorang yang ahli di bidangnya Insya Allah dia tetap bisa disembuhkan. Si penderita bisa kembali menjalani kehidupannya dengan normal dan wajar. Perhatian, kasih sayang yang tulus dan dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya sangat penting dalam proses pemulihan dan penyembuhan kondisi kejiwaan si penderita. Orang-orang sakit jiwa yang sering kita lihat berkeliaran di tempat-tempat keramaian seperti di jalan-jalan, di pasar-pasar dan sebagainya, tentu mereka pun memiliki keluarga. Hanya saja, mungkin karena faktor ekonomi, sosial, atau faktor lainnya, mereka tidak dirawat dan malah ditelantarkan oleh keluarganya. Akibatnya, kondisi mereka menjadi semakin parah sampai tidak mungkin lagi bisa disembuhkan. Kalaupun bisa, hal itu kemungkinan sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Dan yang paling tragis, di masyarakat pun mereka dianggap sebagai sampah masyarakat, manusia yang hina, kotor dan tidak berharga. Mereka menjadi bahan cemoohan, tertawaan dan hinaan orang-orang. Sebenarnya, masalah penyakit jiwa ini bukan hanya tugas psikolog, psikiater, dan rumah sakit jiwa saja. Akan tetapi, ini adalah tanggung jawab dan tugas kita bersama sebagai masyarakat termasuk juga pemerintah. Namun, lebih arif jika kita tidak saling melemparkan tanggung jawab. Mari kita memulai dari diri kita masing-masing. Hal tersebut diharapkan dapat mengubah persepsi dan perlakuan buruk masyarakat terhadap orang yang sakit jiwa , sehingga mudah-mudahan mereka tidak lagi dianggap sebagai sampah masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar