Semasa kecil Thomas Alfa Edison (sang penemu listrik) sangat tidak tampak kecerdasannya, bahkan dia terlihat seperti orang idiot karena ukuran kepalanya lebih besar dari ukuran yang wajar. Orang-orang di sekitarnya mengira dia menderita kelainan syaraf.
Pertanyaan-pertanyaan aneh yang sering dilontarkannya pada orang-orang, menambah prasangka mereka. Bahkan di sekolahnya sendiri, karena banyaknya pertanyaan berbelit yang dilontarkannya, dia mendapat julukan ”Si Dungu”. Oleh karena itu, pada suatu hari, dia pulang dari sekolah sambil menangis dan menceritakan kepada ibunya apa yang telah dialaminya.
Sang Ibu lalu menuntun sang putranya itu kembali ke sekolah dan berkata kepada guru Edison: ”Anda tidak tahu apa yang telah anda ucapkan, anak saya lebih banyak akalnya daripada anda. Disinilah kekeliruan dan aib tindakan anda, saya akan membawa anak saya pulang ke rumah dan saya sendiri yang akan mengajar dan mendidiknya. Suatu saat nanti saya akan menunjukkan kepada anda bahwa dia memang memiliki kecerdasan yang terpendam.” Begitulah prediksi sang ibu yang sangat menakjubkan. Sejak saat itu, sebagaimana telah dijanjikan, ibunya mulai mengajar dan mendidiknya di rumah.
Teras yang berada di depan rumah Edison, menjadi sebuah kelas bagi Edison sendiri, sebagai murid tunggalnya. Semua gerak-gerik anak itu sama seperti ibunya, dia sangat mencintai ibunya. Ketika sang ibu bicara, dia mendengarkannya dengan seksama, seakan akan ibunya itu samudera ilmu pengetahuan.
Karena bantuan ibu yang sangat ”pandai” (dalam pendekatan belajar dan mengajar), dalam usianya yang kesembilan Edison telah mempelajari buku-buku para penulis ternama yang sangat berat, seperti Gibbon, Plato, dan Hammer. Selain itu, sang ibu juga mengajarkan kepadanya ilmu geografi, sejarah, berhitung dan akhlak. Lebih dari tiga tahun Edison tidak ke sekolah, semua dia dapatkan dari sang ibu.
Ibu Edison benar-benar seorang Pembina karena perhatiannya tidak hanya terfokus pada aspek pengajaran dan pendidikannya saja, tetapi juga sisi lain; harus menemukan kecerdasan-kecerdasan alami si anak dan setelah itu barulah mengajarkannya dengan baik dan benar.
Setelah menjadi orang terkenal, Edison berkata: ”Sejak kecil, saya tahu bahwa ibu adalah sosok yang sangat bijak; ketika guru saya memanggil saya anak dungu, beliau membela saya. Sejak saat itu, saya bertekad untuk membuktikan kepada ibu saya bahwa beliau tidak salah membela saya.”
Edison juga berkata: ”Saya tidak akan pernah melupakan pengaruh-pengaruh positif pengajaran dan pendidikan ibu saya. Kalau beliau tidak memotivasi saya, mungkin saya tidak akan menjadi seorang penemu. Ibu berkeyakinan bahwa kebanyakan orang yang menyimpang di usia baligh disebabkan oleh kurangnya pengajaran dan pendidikan yang cukup di masa kecilnya. Dulu saya adalah orang yang selalu ingin hidup bebas, kalau bukan karena perhatian ibu, kemungkinan besar saya sudah menyimpang. Namun keteguhan serta kebaikannya, telah menyelamatkan saya dari penyimpangan dan kesesatan.”
Sang Ibu harus tahu kalau anaknya perlu pendidikan dan perhatian. Siapapun yang dapat mencapai kedudukan apapun adalah berkat perhatian sang ibu. Kebesaran hati dan pengorbanan adalah tujuan sang ibu.
Namun, tak jarang kita juga sering dibuat terpengarah oleh sikap seorang ibu, yang memarahi putra atau putrinya yang tengah berceloteh dengan manis. Lebih menggenaskan lagi, ada orang tua yang memarahi anak-anak mereka dengan mengatakan: ”Bicara pinter, tetapi matematika bodoh.”
Tampaknya orang tua tersebut tidak berbeda dengan kebanyakan orang tua lainnya yang tidak tahu bahwa akanya memiliki aspek Kecerdasan Linguistik yang menonjol. Tetapi mereka justru menganggap matematika sebagai tolok ukur kecerdasan anak-anak. Umumnya para orang tua sangat sedih jika anak-anak mereka tidak mendapat nilai bagus untuk pelajaran matematika. Berbagai upaya dilakukan agar si anak menjadi pintar, termasuk dengan memaksa mereka mengikuti les matematika bahkan dengan menggaji guru privat.
Para orang tua mestinya menyadari bahwa kecerdasan, menurut perkembangan teori terbaru, mempunyai sembilan aspek yang disebut dengan istilah Multiple Intelligences. Kesembilan aspek itu adalah Kecerdasan Linguistik, kecerdasan Logika-Matematika, Kecerdasan Kinestetik, Kecerdasan Spasial (Ruang-Tempat), Kecerdasan Bermusik, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Naturalis, dan Kecerdasan Moral.
Setiap anak memiliki Multiple Intelligences (Kecerdasan Berganda) itu, tetapi pada masing-masing mereka ada aspek-aspek yang paling menonjol. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengenali sejak dini kelebihan dan kekurangan putra-putrinya. Orang tua bertugas memfasilitasi anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik sesuai dengan kelebihan yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar