Senin, 23 Agustus 2010

Korupsi Kecil-kecilan

Cheating atau mencontek dalam bahasa Indonesia , bukanlah sebuah isu baru. Mencontek sedikit berbeda dengan meniru. Yang pertama bermakna negatif sementara yang kedua sedikit kearah positif.. Dunia contek-mencontek ’rajin’ hadir dalam setiap persaingan. Bahkan perguruan tinggi di Amerika, sekalipun yang tergabung dalam the Ivy League juga tak luput dari serangan virus ini, hingga masing-masing lembaga tersebut memiliki kode kehormatannya (Code of Honor) sendiri. Seperti misalnya universitas Harvard, yang dikenal sebagai gudangnya pemikir-pemikir handal Amerika, bahkan sebagaian besar presiden Amerika adalah lulusan kampus itu. Harvard menerapkan sistem anti-mencontek yang terbilang radikal. Peraturannya adalah siapapun yang ketahuan mencontek, baik saat ujian tulis ataupun menulis esai, akan mendapatkan nilai A sementara itu semua teman sekelasnya (yang tidak mencontek atau juga mencontek tapi tidak ketahuan) akan mendapat nilai F (failed / gagal). Tujuan penerapan aturan ini adalah menciptakan sistem pertahanan anti-mencontek di kalangan mahasiswa sendiri. Diharapkan mahasiswa akan belajar keras dan sungguh-sungguh sehingga tidak perlu mencontek untuk sekedar mendapat nilai bagus dan jika seandainya pun, masih ada yang mencontek dan ketahuan, maka bukan lembaga yang langsung menghukum namun sesama mahasiswa yang akan menindak rekannya yang berbuat curang itu, entah dalam bentuk apapun. Betapa tidak, gara-gara ada satu mahasiswa yang mencontek maka yang lain mendapat nilai paling jelek F sementara yang mencontek justru mendapat nilai tertinggi A.
Saya akan membahas praktek mencontek dalam dua fokus bahasan. Yang pertama, praktek mencontek dilihat dari sudut pandang moral si pelaku. Yang kedua, melihat praktek mencontek sebagai produk dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Jika kita mengasumsikan bahwa praktek mencontek adalah masalah moral si pelaku maka kita bisa mendasarkan pemikiran kita pada apa yang telah ditulis oleh Albert Bandura (1977). Bandura percaya bahwa proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat langkah, yakni atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi. Pada saat dorongan mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang membuat seseorang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baginya. Informasi ini diseleksi, kemudian diposisikan ke dalam ingatan sebagai suatu informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara imaginary maupun nyata (visual). Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, di mana anak akan memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku mencontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku mencontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia mencontek. Selain itu, ada beberapa kondisi yang akan memotivasi seseorang untuk berbuat curang (mencontek), yakni antara lain; sistem pengawasan ujian yang longgar, bentuk soal pilihan ganda, serta posisi tempat duduk yang “strategis”. Jika demikian halnya maka, cara untuk menghentikan praktek ini kira-kira antara lain berupa perubahan kondisi eksternal yang dipandang memotivasi perbuatan curang seperti, sistem penjagaan ujian diperketat, bentuk soal dibuat bervariasi dari sekedar pilihan ganda – esai hingga nomor ganjil genap, kondisi ruangan dibuat sama sehingga tidak ada tempat “kering” dan “strategis” dalam ruang ujian. Tetapi cukupkah yang demikian? Maka marilah kita beranjak ke tahap berikutnya yakni menghubungkan fenomena ini dengan kebijakan pemerintah.
Kutipan yang diambil dari tulisan Kathy Slobogin di awal tadi, dihadirkan untuk memberikan gambaran bahwa persoalan mencontek adalah persoalan sistem. Dengan kata lain, bahwa sistem pendidikan yang sedang berlaku justru memotivasi sekaligus menyuburkan praktek curang mencontek. Di dunia sekolah / pendidikan, setidaknya ada dua variabel yang terkait jika kita berbicara tentang mencontek. Variabel yang pertama adalah siswa/i dan yang kedua adalah guru. Jika filsafat Marxist melalui teori konfliknya percaya bahwa jika ada dua variabel dalam satu isu maka dua hal tersebut selalu akan bertentangan, maka tidak demikian yang terjadi dalam kasus mencontek ini. Baik guru maupun siswa bahu-membahu dalam memperoleh nilai terbaik, namun sayangnya, dengan cara yang penuh dengan kecurangan. Hal ini setidaknya terlihat dalam pelaksanaan UN yang seringkali melibatkan tim sukses. Tentu saja tidak setiap sekolah (SMP) melakukan tindakan tidak terpuji ini, namun bisa dikatakan bahwa disaat kelulusan UN merupakan tujuan utama pengajaran di sekolah maka apapun akan dilakukan para guru demi meluluskan siswa/i mereka. Mari kita cermati berita berikut ini :
”Saya, adalah guru yang masih sangat baru. Selama ini sebagai orang awam, saya hanya tahu tugas guru adalah mendidik muridnya menjadi manusia yang baik dan jujur. Namun mendekati UAN saya sering mendengan istilah tim sukses, baik secara bisik-bisik, maupun terang-terangan. Dan setelah saya tahu, terus terang hati saya tergoncang, jiwa saya malu dan menangis. Bagaimana saya dapat berdiri dikelas dan mengajarkan arti kejujuran kepada murid saya, apabila saya jadi tim sukses.”
Pada tanggal 2 desember 2004 di Senayan, Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Guru, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa perbaikan mutu pendidikan tidak hanya melalui perbaikan kesejahteraan guru (peningkatan gaji melalui program sertifikasi) namun Presiden juga mengingatkan guru untuk mendidik siswa/i agar terbiasa mengerjakan tugas/soal tanpa mencontek. Empat tahun setelah pidato presiden tersebut, alih-alih aksi mencontek itu turun drastis, malah semakin menjadi. Himbauan presiden-pun dianggap angin lalu. Tengoklah fenomena “tim sukses UN”. Jika selama ini banyak kalangan menilai kegiatan mencontek dan bentuk kecurangan lainnya dilihat hanya sebagai bentuk degradasi moral para siswa saja, maka di sisi lain ada pandangan yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan Indonesia perlu untuk dibenahi (lagi).
Istilah tim sukses UN (dahulu UAN), selalu melejit seiring dengan datangnya masa-masa menjelang Ujian Nasional. Pihak sekolah tiba-tiba disibukkan dengan penyusunan strategi untuk menyukseskan gelaran itu. Sayangnya ada saja beberapa sekolah yang menyelewengkan arti “menyukseskan”. Jika sebagian sekolah membentuk tim sukses dengan tugas utamanya yaitu memberikan latihan tambahan, memberikan bimbingan rohani juga bekerja sama dengan lembaga terkait untuk mempersiapkan mental para siswa/i-nya, (yang terakhir ini, seperti yang dilakukan oleh SMA Muhammadiyah 2 Surabaya). Pihak sekolah, secara kreatif, menggandeng lembaga psikologi untuk memberikan bimbingan mental agar tenang dan kuat dalam rangka menghadapi UN (RCTI). Di lain pihak, ada sebagian sekolah yang menambah tugas tim suksesnya dengan meminta mereka membantu siswa/i mengerjakan soal-soal UN. Caranya bisa bermacam-macam, semisal; meminta mereka (tim sukses) untuk hadir lebih awal (di hari ujian), kemudian membuka soal ujian (entah bagaimana caranya) lalu mengerjakannya dan setelah itu mengembalikan soal yang tadi diambil ke dalam amplop serapih mungkin seperti semula.
Ada lagi yang menjalankannya antara lain dengan cara; 1. guru mata pelajaran yang UN kan berbisik-bisik memberi kunci jawaban, 2. pemberian kunci jawaban dari guru kepada siswa dengan tidak kentara misalnya kunci jawaban di tulis di dinding WC sehingga siswa bisa mengakses dengan pura-pura meminta ijin kepada pengawas untuk buang air kecil; 3. tanpa pengawas silang atau pengawasan silang yang dilonggarkan yang memungkinkan siswa bisa bekerjasama, mencontek, 4. pengaturan tempat duduk sedemikian rupa yang memungkinkan jawaban dari siswa pintar bisa diakses dengan mudah oleh siswa yang kurang pintar; 5. Sekolah menggiring siswa agar dalam ujian para peserta dapat saling membantu, 6. Memberi perintah kepada siswa hanya mengerjakan misalnya 20 soal saja sedang selebihnya akan diselesaikan oleh guru-guru yang telah ditunjuk oleh Kepala Sekolah sebagai tim sukses; 7. Penggunaan SMS lewat handphone untuk mendistrbusikan jawaban antar teman. (Kaltim Post, 29-30 Mei 2006).
Sebagaimana yang disampaikan Benny Susetyo, kekacauan pelaksanaan UN ini tak lain adalah tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia (Sinar Harapan,15 Februari 2005). Pelaksanaan UN adalah paradoks atas disahkannya kurikulum 2004, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang intinya adalah penilaian ada pada sektor proses. Dan selain itu, KBK bersifat mengakui nilai kelokalan atau dalam ranah administrasi negara dikenal dengan nama otonomi daerah. Artinya, setiap sekolah diberi keleluasaan untuk menerapkan pendidikan sesuai dengan corak masyarakatnya.Sementara UN, justru menafikan nilai-nilai kelokalan karena berhasrat untuk menyeragamkan kemampuan siswa/i di seluruh Indonesia tanpa memperhitungkan kondisi objektif yang berbeda-beda di tiap daerahnya. Penerapan UN diakui atau tidak justru menyuburkan praktek kecurangan ini. Para guru akan terfokus untuk meluluskan sebanyak mungkin siswanya, karena ini berkaitan dengan nama institusi. Ada pameo yang beredar dikalangan pendidik bahwa semakin tinggi angka kelulusan siswanya dalam UN maka semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Akhirnya demi mengejar gengsi, reputasi, dan pemasukan tambahan maka bagi sekolah-sekolah yang tidak percaya diri, ditempuhlah cara-cara tak terpuji itu. Ironis memang, guru, pihak yang selalu dijadikan tumpuan pada proses pendidikan di sekolah justru menjadi komandan atas praktek kecurangan itu. Di satu sisi, sang guru bermoral buruk dan disisi yang lain sang guru adalah korban sistem. Tetapi apapun itu, harap diingat bahwa masa depan republik ini ada di tangan para siswa bukan di tangan para guru. Dan akan selalu berada di tangan para siswa pada setiap generasinya. Artinya, jika kita mengajarkan hal-hal buruk kepada para siswa maka selepas mereka dari sekolah dan terjun bekerja dalam masyarakat, mereka akan terus membawa pengertian bahwa setiap kesulitan yang ada, bisa diselesaikan melalui “jalan belakang” sebagaimana yang dahulu diajarkan oleh bapak dan ibu gurunya. Maka bagi siapa saja yang peduli terhadap pendidikan dan masa depan republik ini, pilihan ada ditangan anda masing-masing. Terlebih bagi mereka yang bekerja untuk mencetak calon guru.

Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar