Senin, 23 Agustus 2010

Pentingnya Pendidikan Moral dan Keteladanan dalam Menangani Masalah Kemerosotan Bangsa

Akhir-akhir ini, gejala kemerosotan moral benar-benar telah mengkhawatirkan. Masalah ini bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan dan profesinya, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar yang diharapkan dapat melanjutkan perjuangan bangsa.
Masalah-masalah moral pun telah menjadi persoalan yang banyak menyita perhatian dari banyak kalangan, terutama dari pendidik, alim ulama, tokoh masyarakat, dan orang tua. Meskipun telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah moral, namun hasilnya masih belum menggembirakan.
Kita patut prihatin atas kondisi moralitas bangsa ini. Betapa tidak, moralitas, sebagai hasil dari pendidikan, ternyata tidak bisa disebut membanggakan. Moralitas yang ada justru sangat jauh dari nilai-nilai normatif yang selama ini dijunjung tinggi. Semua itu sungguh sangat disayangkan dan telah mencoreng kredibilitas dunia pendidikan. Para pelajar yang seharusnya menunjukkan akhlak yang baik, justru malah menunjukkan tingkah laku yang buruk.
Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku para pelajar yang semakin hari menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tindak kejahatan dengan eskalasi yang tinggi juga sudah dilakukan pelajar; mulai dari siswa SD sampai mahasiswa perguruan tinggi. Sungguh tragis jika itu dilakukan oleh mereka yang duduk di bangku pendidikan. Akan tetapi kenyataannya, banyak di antara para pelaku kriminal itu adalah mereka yang berstatus pelajar, atau masih dikategorikan sebagai anak-anak.
Di sisi lain, para pelaku pembangunan di bumi Indonesia tercinta, dari kalangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, juga menunjukkan perangai yang jauh dari aspek moralitas. Padahal, lembaga pendidikan selalu berharap banyak agar adanya contoh yang nyata dari pelaku pembangunan. Para pelaku pembangunan tidak dapat dijadikan contoh teladan bagi generasi muda. Kalau di kalangan generasi muda dikenal istilah "kenakalan remaja", hal yang sama juga dilakukan oleh para orang tua, sehingga wajar saja jika dikatakan "kenakalan orang tua". Sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan yang demikian. Tetapi itulah realitas yang ada. Realitas miris, karena seharusnya mereka berpartisipasi untuk membangun iklim subur bagi pembangunan moralitas bangsa.
Lalu, apa yang telah menyebabkan terjadinya kemerosotan moral di kalangan pelajar? Berkaitan dengan masalah ini, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang di kalangan pelajar, terutama remaja. Di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Hal tersebut menjadikan masyarakat dengan hukum dan peraturannya sebagai satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya. Namun, karena pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial ketika tidak ada orang lain yang mengetahui dan melihatnya.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Ketiga, derasnya arus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Gejala penyimpangan terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan, uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya, tampaknya belum menunjukkan kemauan yang sungguh-sungguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa.
Kelima, sistem pendidikan di Indonesia kurang memperhatikan pendidikan moral yang berhubungan dengan aspek afektif anak didik. Sehingga kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Sudah 65 tahun Indonesia merdeka, dan setiap tahunnya keluar ribuan hingga jutaan kaum intelektual. Tapi tak kuasa mengubah nasib bangsa ini. Maka pasti ada yang salah dengan sistem pendidikan yang kita kembangkan hingga saat ini. Selain itu, sistem pendidikan Indonesia juga kurang memperhatikan kebebasan anak didik untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini tidak sejalan dengan substansi pendidikan yang membebaskan manusia, yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Untuk menyikapi masalah kemerosotan moral ini, pendidikan moral memang perlu dikedepankan, karena dengan adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Selain itu, dunia afektif yang ada pada setiap manusia pun harus selalu dibina secara terarah, terencana dan berkelanjutan karena sifatnya yang labil dan kontekstual. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya.
Lantas, di manakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan?
Pendidikan agama dan pendidikan moral sudah mendapatkan tempat yang wajar dan leluasa dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IX pasal 39 butir 2, misalnya, mengatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.
Lalu, apa langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam upaya menangani masalah kemerosotan moral ini? Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini, antara lain sebagai berikut. Pertama, pendidikan moral dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaan pendidikan agama. Karena nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditujukan untuk membentuk moral yang baik.
Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, matematika, fisika, biologi, sejarah dan sebagainya.
Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama seperti yang selama ini ditentukan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya, dengan meluangkan waktu untuk memberi bimbingan, teladan dan pembiasaan yang baik. Sekolah juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti membiasakan solat berjama’ah, menegakkan disiplin dalam kebersihan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi atau budaya seluruh siswa. Kemudian, sikap dan perilaku guru yang kurang dapat diteladani atau menyimpang hendaknya tidak segan-segan diambil tindakan. Sementara itu, masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan akhlak, seperti membiasakan solat berjama’ah, gotong royong, kerja bakti, memelihara ketertiban dan kebersihan, menjauhi hal-hal yang dapat merusak moral, dan sebagainya.
Kelima, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Kesempatan berkreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya, harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral.
Keenam, pembinaan moral pada anak bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak kecil. Namun, moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Misalnya, seorang anak dibiasakan makan, minum, tidur, berjalan, berbicara, dan berhubungan dengan orang lain, sesuai ketentuan agama. Selanjutnya dibiasakan juga bersikap jujur, adil, konsekuen, ikhlas, pemaaf, sabar, berbaik sangka dan sebagainya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dengan demikian, pembinaan moral memang sangatlah penting. Pendidikan moral harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan di bidang pendidikan negeri ini. Sehingga, Indonesia tidak hanya mencetak generasi-generasi yang pintar saja, tetapi juga bermoral, beradab dan memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
Di samping itu, untuk menyukseskan pembangunan sumber daya manusia, berbagai bentuk sikap keteladanan harus dipraktikkan sedini mungkin. Tentunya, hal ini tidak bisa berharap banyak hanya dari lembaga sekolah. Sekolah bersama seluruh lingkungan, dan masyarakat yang luas harus menunjukkan bentuk sikap keteladanan yang positif.
Jika perilaku sebagian besar orang tua, ataupun dari kalangan pendidikan, masih tetap seperti saat ini, yang jauh dari nilai-nilai normatif dan banyaknya melakukan tindakan kriminal yang dipublikasikan media, maka hal ini akan menjadi pembelajaran yang negatif bagi para pelajar.
Padahal idealnya, anak didik di sekolah menerima bentuk-bentuk contoh perlakuan positif yang dijadikan keteladanan. Bersamaan dengan itu pula, masyarakat luas diharapkan dapat berpartisipasi. Itulah yang sangat diharapkan. Agar benih yang ada di dalam jiwa anak didik dapat tumbuh subur sesuai dengan iklim yang ada di sekitarnya.
Dengan pembiasaan yang berkelanjutan baik di sekolah, di rumah maupun di masyarakat luas, maka sikap positif itu akan tumbuh dan menjadi bagian dari diri sendiri yang akan mengubah jiwa muda tersebut menjadi lebih baik. Pemahaman ini perlu diyakinkan kepada seluruh pihak, bahwa tanggung jawab moralitas anak didik bukan sekedar menjadi tanggung jawab para pendidik ataupun warga sekolah. Masyarakat luas pun ikut bertanggung jawab terhadap perbaikan moralitas generasi muda.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk keteladanan yang positif merupakan solusi yang dapat dipraktikkan untuk memperbaiki kondisi moralitas bangsa. Selain itu, pendidikan pun harus hadir di tengah masyarakat yang akan mengubah sikap yang negatif. Perlu dipahami pula, bahwa pendidikan bukan semata-mata ada di sekolah. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan itu harus dilaksanakan di sekolah, masyarakat, dan di dalam keluarga. Dengan demikian, semuanya bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Semoga dengan pemahaman yang utuh terhadap hakikat pendidikan, maka kualitas bangsa ini akan semakin positif. Semoga.


Sumber:
Djamarah, Saiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syarifudin, Tatang. (2008). Pedagogik Teoritis Sistematis.Bandung: Percikan Ilmu
Makmun, Abin Syamsuddin. (2007). Psikologi Kependidikan Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

2 komentar: